Senin, 19 Mei 2008



REALITAS KEKERASAN TERHADAP ANAK DI INDONESIA

Kasus kekerasan anak terus menunjukkan kecenderungan meningkat dari waktu ke waktu. Menurut data KOMNAS PA (Republika, Desember 2005), dinyatakan bahwa pada tahun 2004 terdapat 441 kasus kekerasan terhadap anak dan sampai dengan akhir tahun 2005 angkanya meningkat menjadi 688 kasus. Dari 688 kasus tersebut terdiri dari 307 kasus kekerasan seksual, 221 kekerasan fisik, dan 160 kekerasan psikis. Selain itu, dari Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) menyatakan bahwa terdapat sebanyak 2.052 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan pada tahun 2004.
Ragam kekerasan yang menimpa anak anak dan perempuan meliputi perkosaan, pemukulan (corporal punishment), penelantaran, dan lain lain, sebagiannya (19%) adalah terjadi di dalam rumah tangga atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Selanjutnya, dinyatakan bahwa 69% pelaku kekerasan adalah orang yang dikenal anak, sedangkan 31% pelakunya tidak dikenal.

Beberapa Faktor Penyebab Kekerasan Terhadap Anak
Pertama, faktor kemiskinan menyebabkan rendahnya kemampuan ekonomi keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Kesulitan ekonomi ini selanjutnya akan memicu timbulnya ketegangan dalam kehidupan keluarga.
Apabila rendahnya ekonomi keluarga berlanjut tanpa ada perbaikan, maka para orangtua cenderung menjadi panik dan gelap mata, maka mereka tega melakukan penyiksaan atau kekerasaan fisik terhadap anaknya tanpa mempertimbangkan dampak negatif atau trauma yang akan terjadi dari kekerasan yang mereka lakukan.
Kedua, masih kuatnya nilai budaya lokal yang memposisikan orangtua sebagai satu kekuasaan yang membuat orangtua merasa punya hak penuh untuk memperlakukan apa saja terhadap anaknya baik dalam menghukum, melakukan kekerasan, mempekerjakan anaknya secara eksplotatif dalam jenis pekerjaan apa saja terhadap anaknya. Mereka lupa bahwa anak itu bukan miliknya namun anak adalah amanah Tuhan yang harus dibina dengan baik dan dipenuhi hak-haknya.
Ketiga, masih kuatnya anggapan bahwa anak adalah anggota dan milik keluarga sehingga apapun urusan masalah anak adalah urusan internal yang tidak perlu dicampuri oleh orang luar. Adanya anggapan tersebut membuat warga sekitar enggan untuk mencampuri apabila ada kasus kekerasan terjadi pada warganya. Hal ini menyebabkan kasus kekerasan tidak/jarang terungkap ke permukaan dan hanya merupakan fenomena gunung es dan kasus kekerasan terus berlanjut di masyarakat.
Keempat, masih rendahnya pemahaman dan kesadaran para orangtua akan hak-hak anak yang perlu dipenuhi agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara baik. Dengan kondisi seperti ini, maka pola pengasuhan anak yang salah sering terjadi di sebagian masyarakat. Anak harus patuh dan tunduk pada orang tua tanpa diberi kesempatan menyuarakan pendapatnya untuk memilih mana yang terbaik untuk dirinya.
Kelima, perkawinan usia dini merupakan perkawinan yang dipaksakan karena beberapa sebab, menjadikan ketidaksiapan pasangan baru ini baik dari segi pengetahuan maupun cara-cara mendidik anaknya secara baik dan benar tanpa tindak kekerasan.

Sudut Pandang Kekerasan Terhadap Anak
Tindak kekerasan pada anak sebagai sebuah gejala sosial dapat dilihat dari beberapa sudut pandang antara lain:
Pertama, sudut pandang perilaku kekerasan merupakan hasil dari cara pandang yang memaknai kekerasan sebagai salah satu jalan atau jalan satu-satunya untuk memecahkan masalah. Cara pandang tersebut seringkali berhubungan erat dengan pola pikir dan nilai-nilai yang berlebihan dalam memaknai berbagai atribut sosial seperti pendidikan, ketegasan, disiplin, kepatuhan dan bahkan perjuangan. Ini merupakan persoalan budaya, persoalan cara berpikir, cara pandang dan nilai-nilai di masyarakat.
Kedua, sudut pandang yang berhubungan dengan posisi anak yang secara obyektif adalah lemah baik secara fisik, psikis dan material. Kelemahan ini membuat anak tidak memiliki cukup kemampuan untuk menolak dan mempertahankan diri, manakala menerima tindak kekerasan dari orang yang lebih dewasa. Padahal, agar anak mampu memikul tanggung jawab sebagai generasi penerus maka ia perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial dan berahklak mulia.
Ketiga, sudut pandang bahwa kekerasan pada anak merupakan kekerasan yang berbasis gender (gender related violence), yaitu merupakan konstruksi sosial yang berakar dari nilai idiologi dominan. Kekerasan anak dapat berbentuk, antara lain: pemukulan, penyiksaan, pelecehan seksual, perkosaan, dan perdagangan perempuan dan anak.
Setiap anak memerlukan perlindungan, dan dalam hal ini kita telah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dengan Undang-Undang tersebut maka negara menjamin hak-hak anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang dan mendapat perlindungan dari eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi dan perlakuan salah lainnya. Demikian pula perlindungan anak di wilayah rumah tangga, kita telah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-Undang ini memberikan landasan hukum bagi upaya pencegahan dan penindakan tindak kekerasan dalam Rumah Tangga, yang sebagian korban adalah perempuan dan anak. Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban kekerasan, menindak pelaku kekerasan dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Persoalan utama dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah penerapannya di lapangan. Masih banyak masyarakat yang belum memahami substansi undang-undang tersebut. Masih banyak orang yang beranggapan bahwa tindak kekerasan orang tua pada anaknya merupakan wilayah privat yang tidak dapat diintervensi oleh publik. Padahal, dengan adanya Undang-Undang ini maka setiap warga masyarakat bukan hanya berhak tetapi juga wajib melaporkan kepada pihak-pihak yang berwajib apabila mengetahui terjadinya tindak kekerasan pada anak di lingkungan terdekatnya. Adalah tugas kita bersama untuk mensosialisasikan isi Undang-Undang tersebut kepada semua lapisan masyarakat.
Setiap tindak kekerasan selalu membawa kerusakan dan penderitaan pada korban, oleh sebab itu, dampak yang diakibatkan tindak kekerasan tidak selamanya hanya berbentuk fisik akibat pukulan, misalnya, tetapi dapat juga berbentuk luka emosional dan ingatan traumatis yang akan berbekas di sepanjang hidupnya dan ini akan lebih sulit dipulihkan daripada dampak fisik. Kekerasan hendaknya tidak pernah lagi dipergunakan oleh siapapun sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah, terlebih lagi bila kekerasan tersebut dilakukan terhadap anak-anak kita yang merupakan tunas, potensi dan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa.

Tidak ada komentar: