KEKERASAN PADA ANAK HARUS DIAKHIRI
"Pengalaman saya waktu saya kelas V SD, ada guru yang jahat sehingga tidak disukai anak-anak. Sebab, bapak guru itu suka memaki-maki anak dengan kata-kata seperti dasar anak bodoh, pemalas."
Begitu penuturan Mario yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagaimana dikisah ulang oleh Project Officer Unicef Astrid Gonzaga Dionisia dalam seminar "Gerakan Anak Asuh" di Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, akhir pekan lalu.
Apa yang dituturkan Mario tersebut adalah contoh kecil dari banyak kekerasan yang dialami anak-anak, baik di lingkungan rumah ataupun sekolah. Dalam konteks tersebut, guru seharusnya menjadi seorang pendidik, bukan malah mencela dan merendahkan murid-muridnya.
Selain diejek atau dicela, anak-anak—terutama anak laki-laki—mengalami kekerasan fisik dan dilakukan dengan sangat kasar. Misalnya, pelaku cenderung menggunakan alat untuk memukul. Kekerasan seksual pun dialami anak laki-laki.
Sementara anak perempuan lebih banyak mengalami kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Kekerasan fisik juga dialami anak perempuan, hanya saja pada tingkat yang lebih sedikit dibandingkan anak laki-laki. Seluruh tubuh anak perempuan bisa menjadi sasaran tindak kekerasan: mulai dari ujung rambut sampai ujung jari kaki.
Menurut M Aziz Syamsuddin dari Komisi III DPR, tindak kekerasan pada anak bisa berdampak terhadap penyimpangan perilaku anak. Sebutlah seperti anak menjadi pendiam, menyimpan amarah, dendam dan sakit hati, serta kebencian.
Berbagai fenomena tersebut masih terus terjadi karena adanya paradigma yang keliru pada masyarakat kita. Anak masih saja dianggap tidak memiliki hak, dan oleh karena itu harus menurut kepada orangtuanya.
Kekerasan dan paradigma semacam ini harus segera diakhiri. Sudah saatnya orangtua menyadari bahwa anak-anak pun memiliki hak asasi, seperti halnya manusia dewasa lain yang juga harus dihargai.
Melihat buruknya perlindungan terhadap anak, maka hak-hak anak perlu ditegakkan, antara lain hak untuk hidup layak, tumbuh dan berkembang optimal, memperoleh perlindungan dan ikut berpartisipasi dalam hal-hal yang menyangkut nasibnya sendiri sebagai anak.
Sebenarnya, hak anak telah diatur dalam Konvensi Hak Anak, yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia pada tahun 1990, disusul disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalamnya dicantumkan berbagai sanksi bagi pelanggaran hak anak.
Bahkan, pada Pasal 80 UU Perlindungan Anak tersebut, orangtua diposisikan pada garda paling depan bagi upaya perlindungan anak. Oleh karena itu, tidak aneh bila sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak akan ditambah sepertiga jika yang melakukan kekerasan adalah orangtuanya sendiri. Ironinya, kenyataan yang ada justru umumnya para orangtualah pelaku tindak kekerasan terhadap anak-anak mereka.
Oleh karena itu, menurut Ketua Lembaga Penelitian Universitas Atma Jaya Jakarta Irwanto PhD, tantangan atas perlindungan anak di Indonesia sangat besar. UU saja tidak cukup. Indonesia memerlukan dukungan sistem atau struktur yang jelas dan investasi/alokasi dana yang mencukupi untuk membentuk apa yang ia sebut scan team.
UU yang ada, menurut Irwanto, tidak lengkap. Terutama terkait dengan definisi kekerasan, age of sexual consent, dan mekanisme penanganan. UU yang ada pun dinilai tidak konsisten: anak dipandang sebagai korban atau kriminal?
"Jadi, selain hukum dan UU, kita memerlukan mainstream child protection di semua lini, perlu segera ada struktur dan mekanisme scan yang jelas," kata Irwanto.
Kompas, September 26, 2006
Senin, 19 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar