Senin, 20 Februari 2012

SISI BURAM PENDIDIKAN KITA

Kemarin saya menemani kawan lama saya, Handri Susan Budiman, ke Komisi D DPRD Kota Bandung untuk mengadukan kasus yang menimpa keponakannya yang mendapat tindak kekerasan dari seorang guru agama berupa penjambakan (lihat http://ow.ly/9a8rQ ). Kasus ini sendiri terjadi seminggu yang lalu di SDN Babakan Priangan 2. Kasus penjambakan yang dilakukan oleh guru yang sering dipanggil Aom ini terjadi ketika si anak tidak dapat menghapal Asma’ul Husna.

Sekilas kasus ini nampak sepele apalagi bila dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan di sekolah yang pernah meramaikan pemberitaan nasional. Namun boleh jadi kasus ini hanyalah satu yang muncul ke permukaan diantara seabreg kasus kekerasan terhadap anak, khususnya yang terjadi di sekolah. Dan kasus ini menjadi noda bagi Kota Bandung yang katanya sedang berusaha menjadi Kota Layak Anak.

Selain itu, kasus ini pun telah menampar entitas masyarakat yang peduli pada perlindungan hak anak di kota Bandung. Terlebih saat ini pemerintah Kota Bandung, DPRD dan beberapa komponen masyarakat --salah satunya Lingkar Perlindungan Anak Kota Bandung--, sedang menggodok Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) Penyelenggaraan Perlindungan Anak Kota Bandung.

Selanjutnya Handri melaporkan bahwa ada voting diantara para guru SD Babakan Priangan yang menanyakan apakah keponakannya itu masih tetap bersekolah di sana atau dipindahkan. Ternyata hasil voting menyimpulkan bahwa si anak harus pindah dari sekolah tersebut. Handri menilai bahwa kondisi ini merupakan akibat sikap kritisnya dan beberapa orang tua lain terhadap kebijakan-kebijakan yang ada di sekolah tersebut, misalnya tentang keharusan siswa membeli LKS. Bila kita perhatikan masalah ini acap kali kita temukan di sekolah-sekolah padahal penjualan LKS itu kabarnya telah dilarang. Namun belum ada tindakan yang jelas dari dinas pendidikan terkait kasus ini.

Menurut saya, kasus ini jangan sampai hanya berhenti pada Aom atau SDN Babakan Priangan saja, seperti kasus-kasus kekerasan yang ada di sekolah lainnya yang pernah diberitakan lalu menguap begitu saja tanpa diikuti tindakan atau kebijakan yang jelas dan komprehensif dari pemerintah. Namun saya berharap dari banyak kasus kekerasan di sekolah ini pemerintah tersadarkan dan segera membangun sistem yang dapat mencegah dan menangani kasus-kasus serupa di kemudian hari. Wallahu a’lam...

Izoel.210212

Senin, 04 April 2011

Ketika Hak-hak Mereka Dipasung Kebijakan

(Sebuah Catatan Tentang Kondisi Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum (AKH) di Kota Bandung)

Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Lingkar Perlindungan Anak Kota Bandung dan Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) pada 15 Maret 2011, terungkap kondisi riil anak-anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) yang ada di Kota Bandung dan sekitarnya serta berbagai factor yang memperburuk layanan yang diterima oleh para AKH.
Anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) seringkali terabaikan hak-haknya. Padahal, sebagai warga Negara – terlebih sebagai anak – mereka tetap berhak mendapatkan berbagai layanan. Dalam konteks hak asasi manusia (ham) hanya hak kemerdekaan saja yang dicabut, AKH tetap layak mendapatkan hak atas pendidikan, layanan kesehatan, layanan social dan lain-lain. Kenyataannya, anak-anak ini di saat berada di penjara acapkali tidak terpenuhi hak-haknya. Negara seakan-akan berhenti melayani mereka. Ternyata, pengabaian hak AKH ini terjadi sejak proses awal penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian hingga pada saat mereka keluar penjara.
Menurut data terakhir dari pengadilan negeri Bandung, terdapat 87 orang anak konflik hukum (AKH) yang prosesnya sampai ke pengadilan. Dan 90% di antaranya dituntut penjara, padahal dalam UU pengadilan anak ada beberapa alternatif.
Minimnya anggaran yang dimiliki Kementerian Hukum dan HAM (Kemenhumham), dan tidak adanya sumbangsih dari pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kota/kabupaten, telah memperparah layanan yang semestinya diterima oleh AKH.
Buruknya layanan bagi AKH, terjadi pula di Kota Bandung. Ditambah dengan ketiadaan Lembaga Pemasyarakatan (LP) khusus anak yang memiliki pola pembinaan tersendiri. AKH pun harus menjalani proses penahanannya di penjara-penjara Rumah Tahanan (Rutan) yang sebenarnya adalah tempat sementara bagi para tahanan hingga turun inkrah dari Pengadilan. Sehingga anak-anak ini tak sekedar harus menerima layanan yang tak semestinya, mereka pun tidak mendapatkan pembinaan yang dibutuhkan.
Minimnya layanan bagi AKH yang terdapat di Rutan Kebonwaru dan beberapa LP di sekitar Bandung juga diakibatkan tak adanya akses layanan yang diberikan oleh Pemerintah Kota Bandung. Ketiadaan akses ini seringkali didasarkan pada larangan tentang pemberian dana/anggaran dari pemerintah daerah kepada instansi-instansi vertikal. Selain itu, pemerintah kota pun sering berdalih bahwa layanan-layanan yang ada lebih difokuskan kepada warga Kota Bandung. Padahal, banyak anak-anak yang harus mendekam di Rutan atau LP itu merupakan warga Kota Bandung.
Diskusi ini diharapkan menemukan peluang atau celah anggaran yang bisa diberikan pemerintah kota dalam penanganan AKH. Sebenarnya pasca larangan penganggaran pemerintah daerah terhadap instansi-instansi vertikal, ada sebuah kelonggaran berdasar surat edaran Menteri Keuangan dengan memperbolehkan pemerintah daerah memberikan anggarannya kepada instansi-instansi vertikal tetapi hanya dalam bentuk block grant (hibah) yang bisa diberikan satu kali saja.
Ada beberapa solusi yang disampaikan oleh para peserta diskusi, yaitu:
Pertama, dengan membuka seluruh sekat formal yang ada di antara pemerintah kota dan instansi-instansi yang terkait dengan permasalahan AKH ini seperti, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Rutan, LP dan Bapas. Usulan ini didasarkan pada 2 Surat Kesepakatan Bersama (SKB) para pejabat setingkat menteri yang telah ditanda tangani secara berturut-turut pada tanggal 15 dan 22 Desember 2009 tentang Penangangan AKH dan Reorientasi-Reintegrasi AKH Pasca Proses Hukum.
Kedua, dengan melibatkan pihak ketiga sebagai pelaksana layanan di Rutan atau LP yang didanai oleh pemerintah kota.
Namun, dua solusi di atas sangat tergantung kepada political will pemerintah kota dan instansi-instansi yang terkait permasalahan AKH ini.

Kamis, 20 Agustus 2009

Membangun Sinergi Dalam Menangani Perempuan dan Anak Korban Kekerasan

(Catatan Rapat Koordinasi Sinergitas Mekanisme Penanganan Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan di Kota Bandung)

Pada hari Senin, 6 Juli 2009, saya mewakili Kalyanamandira mengikuti Rapat Koordinasi (Rakor) Sinergitas Mekanisme Penanganan Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan di Kota Bandung, yang diselenggarakan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Kota Bandung. Kegiatan ini sendiri dilaksanakan di UPT P2TP2A, yang merupakan pusat layanan bagi perempuan atau anak korban kekerasan di Kota Bandung. UPT P2TP2A didirikan pada tahun 2002 berdasar kajian dari perguruan-perguruan tinggi dan rekomendasi dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan.
Semula lembaga ini berbentuk lembaga swadaya masyarakat, kemudian berubah menjadi unit pelayanan terpadu daerah (UPTD) di bawah Pemerintah Kota Bandung. UPT P2TP2A melayani perempuan dan anak korban kekerasan dalam bentuk konseling, mediasi, pendampingan di pengadilan, pemberdayaan ekonomi keluarga dan trauma healing.
Kegiatan ini bertujuan untuk membangun sinergi dan kemitraan antara UPT P2TP2A dengan instansi dan institusi lain yang terkait, seperti, Kepolisian, Dinas Kesehatan, Departemen Agama, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat dan lain-lain. Sebagai instansi baru di Pemerintahan Kota Bandung, UPT P2TP2A perlu membangun kemitraan dengan instansi dan institusi lain, terlebih lagi UPT P2TP2A terus-menerus malakukan pembenahan. Salah satu yang harus dibenahi adalah keberadaan Rumah Aman bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Sejauh ini UPT P2TP2A belum memiliki Rumah Aman. padahal sebagai salah satu unit layanan pemerintah yang berada di kota besar dengan segala permasalahannya yang kompleks, seyogyanya UPT P2TP2A memiliki sebuah Rumah Aman.
Di samping melakukan perkenalan UPT P2TP2A, kegiatan ini pun memberi kesempatan kepada setiap elemen yang hadir untuk memaparkan hal-hal yang telah mereka lakukan terkait dengan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan dan anak, tentu saja sesuai dengan bidangnya. Dari pihak kepolisian yang pada pertemuan ini diwakili oleh seorang polisi wanita yang bekerja di RS Sartika Asih, menjelaskan tentang proses visum yang dilakukan pada korban-korban kekerasan, baik bagi korban kekerasan biasa maupun korban kekerasan seksual. Seringkali dikeluhkan proses visum ini yang sangat ngejelimet. Penjelasan soal ini ditambahkan oleh seorang bapak perwakilan dari RS Hasan Sadikin Bandung. Menurutnya, proses visum ini sangat mudah dilakukan dan gratis. Tentu saja penjelasan ini penting karena seringkali korban kekerasan enggan untuk melapor dan membuktikan karena sangat mahal biayanya, khususnya dalam proses visum ini.
Tentang kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berujung perceraian, seorang perwakilan Departemen Agama Kota Bandung turut berbagi cerita. Menurutnya, sejauh ini pada proses perceraian di pengadilan agama, Departemen Agama dalam kaitan ini Pengadilan Agama selalu menjadi mediator bagi pasangan suami-isteri dan seringkali menganjurkan kepada setiap pasangan untuk berdamai.
Beberapa lembaga swadaya masyarakat turut hadir dan berbagi cerita. Salah satunya adalah Jaringan Relawan Independen (JARI). JARI yang memiliki beberapa orang staf ahli dalam bidang hokum, kesehatan dan psikologi, seringkali menerima klien yang menjadi korban kekerasan. Para klien ini diwawancara dan didampingi dalam menghadapi permasalahannya. JARI pun menyiapkan beberapa data melalui pemeriksaan kesehatan dan tes psikologi. Para klien pun didampingi dalam proses hukumnya.
Salah seorang kawan dari Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) pun berbagi cerita soal penanganan korban-korban perdagangan perempuan (women trafficking). Dalam penanganan women trafficking ini ada dua hal yang mesti dilakukan, yaitu, pencegahan penyaluran para pekerja perempuan dari daerah-daerah tertentu, dan pemulangan para korban trafficking. Dari pengalamannya mendampingi para korban trafficking di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia, katanya, seringkali para TKW illegal ini tidak langsung pulang ke kampungnya. Biasanya mereka mencoba masuk kembali ke Malaysia melalui beberapa ‘jalan tikus’. Hal ini terjadi bukan hanya karena banyak jalan dan cara yang dapat mereka lalui saja, melainkan karena proses keimigrasian kita yang kurang optimal. Karena para pekerja perempuan ini seringkali tidak langsung pulang ke daerahnya masing-masing bahkan acapkali mereka mengadu nasib di kota-kota besar, ia menilai kota-kota besar seperti Bandung akan banyak mendapat imbas dari keberadaan para pekerja perempuan ini. Secara langsung dan tidak langsung perempuan korban trafficking ini akan berkumpul dan menambah permasalahan yang ada di kota-kota besar. Maka, seyogyanya di kota-kota besar itu disiapkan shelter atau ‘Rumah Aman’ bagi para korban kekerasan perempuan, khususnya bagi korban trafficking.
Karena UPT P2TP2A ini masih memiliki beberapa kekurangan, sehingga layak didukung oleh semua elemen yang terkait. Hal ini diamini oleh beberapa orang perwakilan dari perguruan tinggi yang hadir, seperti, dari Universitas Padjadjaran (UNPAD) dan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati. Mereka dapat memfasilitasi beberapa hal seperti kajian, penelitian dan hal-hal lain sesuai kapasitas mereka.
Sampailah di penghujung acara, tetapi saya merasa belum terumuskan mekanisme atau teknis sinergitas yang diharapkan antar instansi dan institusi terkait. Para peserta Rakor ini tampak asyik menceritakan hal-hal yang telah mereka lakukan. Namun bagaimana kapasitas masing-masing isntitusi ini dapat bersinergi belum terumuskan. Bukan hanya itu, seringkali kita lupa untuk mendefinisikan permasalahan apa yang akan dihadapi bersama. Semua paham tentang permasalahan kekerasan perempuan, tetapi apakah semu pihal memiliki cara pandang yang sama terhadap permasalahan tersebut? Sinergi tidak mungkin terwujud bila perspektif tentang permasalahannya saja belum seragam. Walla a’lam..

Jumat, 17 Juli 2009

Pendidikan Murah dan Berkualitas bagi Masyarakat, Mungkinkah? (Bagian-1)

Ungkapan di atas merupakan topic dari diskusi pendidikan yang diselenggarakan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Bandung, petang sampai malam tadi (22/06) dengan menghadirkan pembicara, Ahmad Bahrudin, pengelola Sekolah Qoryah Thayyibah, Salatiga. Kegiatan ini dibuka dengan pemutaran film “Kepala Sekolahku Seorang Pemulung”, sebuah film documenter yang pernah meraih Eagle Award di Metro TV.
Sebelum memaparkan lebih jauh tentang Qaryah Thayyibah, Ahmad Bahrudin memutar cuplikan liputan Metro TV tentang sekolah Qaryah Thayyibah. Dalam liputan ini digambarkan perbandingan antara dua sekolah dengan latar yang berbeda. Satu sekolah dikatakan sekolah unggulan dengan SPP yang sangat mahal dan fasilitas yang lengkap. Dan satu sekolah lainnya berada di pedesaan dengan SPP yang sangat murah, tetapi memiliki fasilitas yang hamper setara dengan sekolah yang pertama.
“Ternyata, sekolah berkualitas itu tidak perlu mahal.” Demikian Bahrudin membuka pemaparannya.
Sekolah Qaryah Thayyibah hadir di tengah perkampungan Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah pada pertengahan tahun 2003. Awalnya muncul kegelisahan para warga termasuk Bahrudin, karena harus menyekolahkan anak-anak mereka yang telah tamat sekolah dasar (SD) ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) yang letaknya sangat jauh dari kampong mereka. Sehingga para orang tua ini harus mengeluarkan biaya yang sangat besar bagi pendidikan anak-anak mereka. Padahal, rata-rata penghasilan mereka ini sangat kecil. Selaku Ketua RW setempat, Bahrudin mengumpulkan warganya dan mendialogkan permasalahan tersebut. Akhirnya, mereka bersepakat untuk membuat SLTP sendiri dengan biaya yang disesuaikan dengan kemampuan para warga. Dan masuklah 12 orang anak di sekolah yang kemudian dinamai Qaryah Thayyibah.
Sebuah prinsip yang dianut benar oleh sekolah Qaryah Thayyibah ini adalah guru tidak boleh mengajar atau mengarahkan. Guru hanya mendampingi dan mendukung keinginan anak, selama keinginan itu positif dan tidak membawa dampak negatif. Anak-anak diberi ruang berkreasi seluas-luasnya untuk mempelajari segala hal yang menjadi minat mereka masing-masing dengan segala hal yang ada di sekitar mereka. Dan pembelajaran yang dikembangkan adalah pembelajaran berbasis kebutuhan. Sehingga anak-anak mempelajari segala hal yang dekat dan sering mereka temukan dalam kehidupan sehari-hari dengan kapasitasnya masing-masing. Anak-anak diberi ruang untuk menentukan kompetensinya sendiri, bahkan sampai dalam penyusunan kurikulum.
Tentang fasilitas yang di awal telah disitir oleh Bahrudin, ternyata Sekolah Qaryah Thayyibah pun memulai dengan hal-hal yang sangat sederhana, salah satunya dengan me’manage’ uang jajan anak. Uang jajan itu diperuntukkan untuk tabungan penyediaan alat-alat sekolah termasuk komputer dan penyediaan sarana internet yang dirasakan sangat penting menurut anak-anak. Uang jajan ini pun diposisikan untuk memenuhi asupan gizi anak-anak sehari-hari, sehingga mereka dapat menikmati makanan sehat dan susu murni setiap hari. Khusus dalam penyediaan internet, Bahrudin banyak dibantu oleh seorang kawannya yang kebetulan mengawaki provider Indonet.
Dengan ruang pembelajaran yang sangat luas dan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak, prestasi anak-anak pun terus meningkat. Kemampuan berbahasa Inggris anak-anak Qaryah Thayyibah cukup bisa diandalkan. Dan kecakapan beberapa anak-anak dalam menulis pun telah menorehkan banyak prestasi. (bersambung)

Jumat, 12 Desember 2008

KETIKA SEGALANYA TERJADI DI LUAR PERKIRAAN (2)

(Catatan Pendampingan Anak Rutan Kebonwaru, 11 Desember 2008)

Meski menyisakan banyak keganjilan dalam pendampingan seminggu yang lalu, ditambah ketiadaan rapat rutin yang biasa kami lakukan setiap hari Selasa, aku tetap melakukan pendampingan bersama teman-teman lain. Ku pikir, ada banyak hal yang bisa aku pelajari dalam pendampingan walaupun prosesnya terjadi sangat tidak sistematis. Aku dipusingkan dengan diskusi SAP, indikator, pelaporan dan segala hal yang sebenarnya hanya pelengkap dalam sebuah pendampingan atau fasilitasi. Aku memang orang yang emoh dengan segala formalitas dan prosedur, tapi bukan berarti aku tidak bisa memberikan sesuatu yang terbaik bagi orang lain.
Dengan mata yang ku rasa sangat pedih sejak beberapa hari yang lalu, aku menyapa Ira, Wilda, Rerra, Anita, Yulia dan Ilah yang lebih dulu sampai di halaman Rutan Kebonwaru. Tadinya, aku berencana untuk tidak datang karena mataku sakit. Tapi ketika Tya mengabarkan bahwa ia dan Tasya tidak bisa datang ke Rutan, maka aku tergerak untuk pergi. Hari ini, Mayene pun tidak bisa datang karena sakit dan Zamzam yang mengikuti praktikum.
Sebenarnya, aku merasa agak kurang siap mendampingi, bukan hanya karena sakit mata tapi karena SAP yang biasa aku siapkan belum ku susun. Namun, sapaan, canda dan senyum teman-teman dapat meredakan sakit dan ketidak siapanku. Makasih ya...
Dheka, Oka dan Togar melengkapi tim kami. Kami mulai berkerumun di depan gerbang Rutan dan mulai melewati prosedur pemeriksaan satu-persatu. Sayang, kamera Wilda yang biasa kami gunakan untuk dokumentasi kegiatan tidak boleh dibawa ke dalam.
Wilda mulai membuka acara. Yulia dan Rerra memberi game `Topi Saya Bundar`. Dan seluruh kegiatan pendampingan hari ini dimulai.... Aku dan Ira menemani anak-anak Kriya mewarnai patung-patung tanah liat hasil karya mereka seminggu yang lalu. Yulia dan Oka bereksperimen memainkan musik dengan peralatan seperti botol, kaleng, galon, sendok dan pensil bersama anak-anak Musik. Dheka dan Wilda merangkai sebuah cerita bersama anak-anak Sastra. Ilah dan Rerra masih tetap menjadi sweeper. Anita masih tetap sendirian di minilab dengan 2 orang anak baru.
Anak-anak Kriya cukup antusias mewarnai hasil karya tanah liat mereka, sampai-sampai bercak-bercak cat tercecer di mana-mana. Huh katempuhan euy, aku mesti sedikit bersih-bersih. Anak-anak Musik berisik dengan eksperimen musik mereka. Anak-anak Sastra lebih hangat dengan rangkaian cerita yang mereka susun bersama. Indah ya, meski ku sadar ada banyak hal yang di luar perkiraan dan sulit dilaporkan secara sistematis.
Ilah menyampaikan keresahannya tentang nasib seorang anak bernama Topan (bukan nama sebenarnya). Topan telah beberapa minggu mengeluh karena mesti berada satu sel bersama tahanan-tahanan dewasa. Sebenarnya, beberapa waktu yang lalu Topan pernah bercerita hal yang sama kepadaku. Sayang, aku mesti berbagi konsentrasi dengan kegiatan dan anak-anak lain. Maaf Pan....
Hari ini pun kami kebanjiran titipan pesan dari anak-anak kepada orang tua dan saudara mereka. Untung, Anita pegang seluler dengan provider yang harga smsnya dihitung perkarakter. Makasih Ta....
Masih banyak PR pendampingan yang harus segera dibenahi. Tapi, jangan pernah mengalah. Anak-anak itu masih sangat butuh kita dampingi. Wallahu a`lam.....

KETIKA SEGALANYA TERJADI DI LUAR PERKIRAAN (1)

Catatan Pendampingan Anak Rutan Kebonwaru, 4 Desember 2008)

Pagi itu, aku bangun dengan cukup lega, karena segala hal yang dibutuhkan untuk pendampingan hari itu kupikir telah telah disiapkan. Aku pun lebih bersemangat untuk mandi pagi. Tapi aku tak cepat-cepat berangkat, menunggu Oka bangun dan yulia datang menumpang mengeprint di basecamp Kalyanamandira.
Jam 8, Yulia tiba dan mengeprint lembar presensi dan SAP. Oka baru saja masuk kamar mandi dan mempersilahkan aku dan yulia berangkat lebih dulu. Aku dan yulia berangkat dan mampir sebentar di rumah Ben untuk mengambil uang transport bagi para pendamping.
Sesampainya di halaman Rutan Kebonwaru, kami bertemu Mayene, Rerra dan Wilda. Aku permisi sebentar untuk mengambil tanah liat yang telah aku beli sehari sebelumnya di Balai Keramik yang berada di belakang Rutan Kebonwaru. Dibonceng Ilah yang berpapasan di jalan, aku mengambil tanah liat untuk kegiatan anak di kelompok Kriya sebanyak 20 kg. Lega rasanya, kala segala persiapan dirasa telah terlaksana. Aku semakin lega, ketika Anita, Ira, Tya, Tasya, Firman, Oka dan Togar telah berkumpul bersama kami. Sayang, hari itu Dheka tidak bisa datang karena sakit, dan Zamzam yang mengikuti praktikum di kampusnya. Hampir jam 10, kami mulai memasuki gerbang Rutan Kebonwaru dengan segala prosedur pengamanan dan pemeriksaan.
Aku mulai menangkap gelagat kurang mengenakkan. Ternyata, kelegaanku hanyalah sementara. Dalam pendampingan banyak hal terjadi di luar perkiraan. Meski `rundown` kegiatan pendampingan telah kami susun, tetap saja banyak hal yang harus kami benahi. Terlebih SAP yang selalu saja menyisakan PR besar bagi kami. Ketidak jelasan indikator seringkali menjadi sebab sulitnya kami mengukur hasil kerja pendampingan. Tata administrasi dan inventarisir data anak selalu terseret-seret di antara hiruk-pikuk pendampingan dan aktivitas kami yang lain. Selepas pelatihan Appreciative Inquiry yang ku pikir masih agak prematur, belum banyak mengubah tata kerja aku dan teman-teman pendamping yang lain.
Setelah Yulia, Anita dan Wilda membuka acara dengan sebuah game, anak-anak mulai memasuki kelompoknya masing-masing. Aku, Ira, Tya dan Tasya mendampingi kelompok Kriya yang hari itu berencana membuat patung tanah liat. Oka dan Yulia mendampingi kelompok Musik. Wilda ditemani Mayene di kelompok Sastra. Anita dan Rerra di minilab. Ilah, hari itu, masih tetap menjadi sweeper.
Meski keriuhan terjadi di sepanjang kegiatan pendampingan hari itu, aku merasakan banyak keganjilan di mana-mana. Mulai dari alur yang agak amburadul sampai perilaku beberapa pendamping yang kurang menjalankan perannya sebagai pendamping. Kata-kata tadi mungkin lebih halus daripada aku berkata `konyol`. Aku sadar, aku pun belum bisa secara penuh menjalankan peran fasilitator atau pendamping anak, tapi aku selalu sadar aku sedang berada di mana.
Aku tak bisa bercerita banyak sekarang, di samping sepulang dari pendampingan anak hari itu tidak ada evaluasi, aku merasa tak banyak cerita yang bisa aku banggakan.

Jumat, 28 November 2008

SENYUM KECIL DI KEBON WARU

(coretanku dari pendampingan anak di Rutan Kebon Waru, 27 November 2008)

Pagi itu aku bangun cepat meski tidak bersegera untuk mandi yang aku akui sebagai ‘penyakit’ kemalasanku. Dari semalam aku agak kurang tenang karena belum bisa menyiapkan senar gitar yang telah dipesan teman-teman di kelompok musik. Sebenarnya aku telah mencari senar itu di sekitar Buah Batu, sayang aku tidak menemukannya.
Sekedar mengumpulkan semangat untuk mandi pagi, aku nyalakan komputer, televisi dan ku bolak-balik lagi Satuan Acara Pemebelajaran (SAP) kelompok kriya yang telah aku susun. Dengan agak malas, akhirnya aku memaksakan diri untuk mandi pagi. Huh…. dingin…
Setelah mandi dan ganti baju, aku tepekur di depan televisi sambil menunggu Ben yang akan memberi uang transport bagi para pendamping rutan. Beberapa menit berselang, Ben pun datang. Meski uang transport sudah aku terima, aku belum beranjak dari sofa di ‘base camp’ Kalyanamandira, aku masih menunggu kabar dari Yulia yang akan membawa beberapa peralatan keterampilan. Kebetulan hari ini aku dan teman-teman di kelompok Kriya berencana untuk membuat kue bola-bola cokelat, dan Yulia bersedia membawa sebagian besar peralatannya. Akhirnya, Yulia sms, katanya ia menungguku di pertigaan jalan Martanegara – Turangga. Sayang, Yulia tidak cukup sabar menungguku, karena ia harus menge-print beberapa form kehadiran anak, sehingga pas aku sampai di pertigaan Martanegara – Turangga ia sudah pergi. Aku sms Yulia. Ternyata ia sedang berada di sebuah warnet di jalan Gatot Subroto. Aku menyusulnya. Yulia sudah selesai menge-print dan sedang mencegat angkutan kota. Kami pun berangkat bersama. Hmm… aku jadi ibu ni, pake bawa baskom dan sendok segala…
Sesampainya aku dan Yulia di halaman Rutan Kebon Waru, ternyata baru Ira, Rerra dan Wilda yang datang. Beberapa menit kemudian berturut-turut Anita, Mayene, Ilah, Tya, Firman, Tasya, Zamzam, Oka dan Dheka. Hari itu pun kami ditemani Bang Togar dari Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) dan Rahmi seorang teman baru dari Unisba. Sebelum masuk ke Rutan, kami melakukan diskusi kecil untuk mempersiapkan pendampingan. Masalah yang sedikit rumit dibicarakan adalah mekanisme ‘minilab’, yang pada seminggu sebelum melakukan ‘blunder’ dengan menyebarkan Daftar Riwayat Hidup (DRH) yang telah banyak menyita waktu dan konsentrasi anak-anak. Sebenarnya, hal itu bekan sepenuhnya kesalahan teman-teman di minilab, aku dan beberapa teman yang telah cukup lama mendampingi telah ‘teledor’ terhadap proses pendampingan kamis 20 November yang lalu. Sebenarnya, aku telah sangat bangga dengan cara kerja pendampingan rutan sekarang yang lebih taktis dan rapih. Lah, keren kan tim gw hehe….
Jarum jam menunjuk pada angka 09.50, kami mulai mendekati pintu masuk rutan. Setelah semua mobil pengangkut tahanan keluar membawa para tahanan ke pengadilan, kami masuk rutan satu-persatu. Dengan stempel di tangan kanan, kami menuju aula rutan tempat kegiatan biasa diadakan. Kami tak langsung bertemu dengan anak-anak rutan, mereka harus dipanggil dulu di sel-selnya. Datanglah sekitar 50 orang anak di ruangan itu. Mereka datang dengan senyum hampa buah tekanan yang mereka dapatkan di dalam tahanan. Acara mulai dibuka oleh Mayene, diteruskan dengan game yang dibawakan oleh Wilda dan Rerra. Meski gamenya menurutku tidak terlalu rame, anak-anak mulai tersenyum lepas. Mungkin sebenarnya mereka bahagia karena melihat bidadari cantik, Rerra. Gombal colongan yeuh....
Pembukaan pun berlangsung hampir 25 menit. Selanjutnya, anak-anak masuk ke kelompok minat, yaitu kelompok kriya, kelompok musik dan kelompok sastra. Kecuali 8 orang anak yang baru masuk, mereka didampingi oleh teman-teman minilab, yaitu, Anita dan Mayene. Aku, Ira, Tya dan Tasya mendampingi kelompok Kriya. Dheka dan Wilda mendampingi kelompok Sastra. Oka, Zamzam, Yulia dan Firman bersama kelompok Musik. Adapun Rerra dan Ilah, lebih menjadi sweeper bagi anak yang di luar kelompok. Ruangan pun mulai riuh dengan gelak tawa dan sahutan. Rame euy...
Di kelompok musik, aku mulai menjelaskan tata cara pembuatan kue bola coklat. Anak-anak tampak antusias, terlebih ketika mereka mengetahui bahwa kue-kue itu nantinya dapat mereka makan. Anak-anak dibagi ke dalam 3 kelompok. Masing-masing kelompok dilengkapi peralatan 1 buah baskom, 2 sendok makan dan beberapa plastik sebagai sarung tangan, serta bahan-bahan yang terdiri dari biskuit, susu kental, air mineral dan meses. Mulailah kelompok-kelompok itu membuat kue bersama-sama. Sambil becanda mereka membubukkan biskuit dengan tangan-tangan mereka yang dibungkus plastik. Kemudian biskuit itu dicampur susu kental dan sedikit air. Mulailah mereka membuat bola-bola kecil. Lalu bola-bola kecil itu dibubuhi meses warna-warni. Akhirnya, kue-keu bola coklat telah selesai dibuat. Selanjutnya, anak-anak menuliskan runutan pembuatan dan bahan-bahan yang digunaka di selembar kertas. Setelah semua kelompok menyelesaikan proses pembuatan kue dan menuliskan rangkaiannya, mulailah satu-persatu salah seorang wakil kelompok menjelaskan proses pembuatan kue dan menyebutkan bahan-bahan yang digunakan. Kegiatan presentase ini, tak jarang diselingi sahutan dan candaan dari anak-anak yang lain. Sebelum anak-anak menikmati kue buatan mereka, aku dan Ira memberi sedikit refleksi kegiatan pembuatan kue tersebut. Akhirnya, anak-anak mulai gaduh saling berebutan dan memakan kue-kue buatan mereka. Dasar barudak...
Keriuhan juga terjadi di kelompok Musik. Kelompok Musik mulai bereksperimen dengan alat-alat seadanya seperti, botol dan galon. Di antara anak-anak Musik pun ada yang mencoba menciptakan lagu. Di kelompok Sastra cenderung lebih senyap. Tapi bukan berarti mereka tanpa kegiatan. Mereka sedang membuat tulisan, baik prosa ataupun puisi.
Ternyata, puncak keriuhan hari itu ada di akhir kegiatan. Kami para pendamping telah merencanakan sebuah kejutan kecil bagi seorang anak yang tepat hari itu berulang tahun. Indra nama anak itu, adalah anak yang akan menerima kejutan-kejutan kecil dari kami dan teman-temannya di Kebon Waru. Pertama-tama ia dikejutkan dengan lagu ’Selamat Ulang Tahun’ yang dinyanyikan oleh anak-anak Musik. Kemudian ada sebuah puisi dari anak-anak Sastra dan sebuah hadiah kecil yang diberikan Tasya kepadanya. Kami semua bergembira. Dan emosi menggelegak dari Mayene yang menjadi MC kegiatan kami hari itu. Ia sampai terharu dan mengeluarkan air mata. Benar-benar kebahagiaan kecil yang sangat sulit anak-anak dapatkan ketika mereka berada dalam tahanan.
Mungkin aku tak cukup pandai menceritakan keceriaan ini kepada para pembaca. Seperti tidak pandainya kita memahami anak-anak itu yang tidak sepantasnya mendapatkan perlakuan yang sama dengan orang-orang dewasa.