Kamis, 20 Agustus 2009

Membangun Sinergi Dalam Menangani Perempuan dan Anak Korban Kekerasan

(Catatan Rapat Koordinasi Sinergitas Mekanisme Penanganan Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan di Kota Bandung)

Pada hari Senin, 6 Juli 2009, saya mewakili Kalyanamandira mengikuti Rapat Koordinasi (Rakor) Sinergitas Mekanisme Penanganan Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan di Kota Bandung, yang diselenggarakan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Kota Bandung. Kegiatan ini sendiri dilaksanakan di UPT P2TP2A, yang merupakan pusat layanan bagi perempuan atau anak korban kekerasan di Kota Bandung. UPT P2TP2A didirikan pada tahun 2002 berdasar kajian dari perguruan-perguruan tinggi dan rekomendasi dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan.
Semula lembaga ini berbentuk lembaga swadaya masyarakat, kemudian berubah menjadi unit pelayanan terpadu daerah (UPTD) di bawah Pemerintah Kota Bandung. UPT P2TP2A melayani perempuan dan anak korban kekerasan dalam bentuk konseling, mediasi, pendampingan di pengadilan, pemberdayaan ekonomi keluarga dan trauma healing.
Kegiatan ini bertujuan untuk membangun sinergi dan kemitraan antara UPT P2TP2A dengan instansi dan institusi lain yang terkait, seperti, Kepolisian, Dinas Kesehatan, Departemen Agama, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat dan lain-lain. Sebagai instansi baru di Pemerintahan Kota Bandung, UPT P2TP2A perlu membangun kemitraan dengan instansi dan institusi lain, terlebih lagi UPT P2TP2A terus-menerus malakukan pembenahan. Salah satu yang harus dibenahi adalah keberadaan Rumah Aman bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Sejauh ini UPT P2TP2A belum memiliki Rumah Aman. padahal sebagai salah satu unit layanan pemerintah yang berada di kota besar dengan segala permasalahannya yang kompleks, seyogyanya UPT P2TP2A memiliki sebuah Rumah Aman.
Di samping melakukan perkenalan UPT P2TP2A, kegiatan ini pun memberi kesempatan kepada setiap elemen yang hadir untuk memaparkan hal-hal yang telah mereka lakukan terkait dengan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan dan anak, tentu saja sesuai dengan bidangnya. Dari pihak kepolisian yang pada pertemuan ini diwakili oleh seorang polisi wanita yang bekerja di RS Sartika Asih, menjelaskan tentang proses visum yang dilakukan pada korban-korban kekerasan, baik bagi korban kekerasan biasa maupun korban kekerasan seksual. Seringkali dikeluhkan proses visum ini yang sangat ngejelimet. Penjelasan soal ini ditambahkan oleh seorang bapak perwakilan dari RS Hasan Sadikin Bandung. Menurutnya, proses visum ini sangat mudah dilakukan dan gratis. Tentu saja penjelasan ini penting karena seringkali korban kekerasan enggan untuk melapor dan membuktikan karena sangat mahal biayanya, khususnya dalam proses visum ini.
Tentang kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berujung perceraian, seorang perwakilan Departemen Agama Kota Bandung turut berbagi cerita. Menurutnya, sejauh ini pada proses perceraian di pengadilan agama, Departemen Agama dalam kaitan ini Pengadilan Agama selalu menjadi mediator bagi pasangan suami-isteri dan seringkali menganjurkan kepada setiap pasangan untuk berdamai.
Beberapa lembaga swadaya masyarakat turut hadir dan berbagi cerita. Salah satunya adalah Jaringan Relawan Independen (JARI). JARI yang memiliki beberapa orang staf ahli dalam bidang hokum, kesehatan dan psikologi, seringkali menerima klien yang menjadi korban kekerasan. Para klien ini diwawancara dan didampingi dalam menghadapi permasalahannya. JARI pun menyiapkan beberapa data melalui pemeriksaan kesehatan dan tes psikologi. Para klien pun didampingi dalam proses hukumnya.
Salah seorang kawan dari Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) pun berbagi cerita soal penanganan korban-korban perdagangan perempuan (women trafficking). Dalam penanganan women trafficking ini ada dua hal yang mesti dilakukan, yaitu, pencegahan penyaluran para pekerja perempuan dari daerah-daerah tertentu, dan pemulangan para korban trafficking. Dari pengalamannya mendampingi para korban trafficking di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia, katanya, seringkali para TKW illegal ini tidak langsung pulang ke kampungnya. Biasanya mereka mencoba masuk kembali ke Malaysia melalui beberapa ‘jalan tikus’. Hal ini terjadi bukan hanya karena banyak jalan dan cara yang dapat mereka lalui saja, melainkan karena proses keimigrasian kita yang kurang optimal. Karena para pekerja perempuan ini seringkali tidak langsung pulang ke daerahnya masing-masing bahkan acapkali mereka mengadu nasib di kota-kota besar, ia menilai kota-kota besar seperti Bandung akan banyak mendapat imbas dari keberadaan para pekerja perempuan ini. Secara langsung dan tidak langsung perempuan korban trafficking ini akan berkumpul dan menambah permasalahan yang ada di kota-kota besar. Maka, seyogyanya di kota-kota besar itu disiapkan shelter atau ‘Rumah Aman’ bagi para korban kekerasan perempuan, khususnya bagi korban trafficking.
Karena UPT P2TP2A ini masih memiliki beberapa kekurangan, sehingga layak didukung oleh semua elemen yang terkait. Hal ini diamini oleh beberapa orang perwakilan dari perguruan tinggi yang hadir, seperti, dari Universitas Padjadjaran (UNPAD) dan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati. Mereka dapat memfasilitasi beberapa hal seperti kajian, penelitian dan hal-hal lain sesuai kapasitas mereka.
Sampailah di penghujung acara, tetapi saya merasa belum terumuskan mekanisme atau teknis sinergitas yang diharapkan antar instansi dan institusi terkait. Para peserta Rakor ini tampak asyik menceritakan hal-hal yang telah mereka lakukan. Namun bagaimana kapasitas masing-masing isntitusi ini dapat bersinergi belum terumuskan. Bukan hanya itu, seringkali kita lupa untuk mendefinisikan permasalahan apa yang akan dihadapi bersama. Semua paham tentang permasalahan kekerasan perempuan, tetapi apakah semu pihal memiliki cara pandang yang sama terhadap permasalahan tersebut? Sinergi tidak mungkin terwujud bila perspektif tentang permasalahannya saja belum seragam. Walla a’lam..

Jumat, 17 Juli 2009

Pendidikan Murah dan Berkualitas bagi Masyarakat, Mungkinkah? (Bagian-1)

Ungkapan di atas merupakan topic dari diskusi pendidikan yang diselenggarakan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Bandung, petang sampai malam tadi (22/06) dengan menghadirkan pembicara, Ahmad Bahrudin, pengelola Sekolah Qoryah Thayyibah, Salatiga. Kegiatan ini dibuka dengan pemutaran film “Kepala Sekolahku Seorang Pemulung”, sebuah film documenter yang pernah meraih Eagle Award di Metro TV.
Sebelum memaparkan lebih jauh tentang Qaryah Thayyibah, Ahmad Bahrudin memutar cuplikan liputan Metro TV tentang sekolah Qaryah Thayyibah. Dalam liputan ini digambarkan perbandingan antara dua sekolah dengan latar yang berbeda. Satu sekolah dikatakan sekolah unggulan dengan SPP yang sangat mahal dan fasilitas yang lengkap. Dan satu sekolah lainnya berada di pedesaan dengan SPP yang sangat murah, tetapi memiliki fasilitas yang hamper setara dengan sekolah yang pertama.
“Ternyata, sekolah berkualitas itu tidak perlu mahal.” Demikian Bahrudin membuka pemaparannya.
Sekolah Qaryah Thayyibah hadir di tengah perkampungan Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah pada pertengahan tahun 2003. Awalnya muncul kegelisahan para warga termasuk Bahrudin, karena harus menyekolahkan anak-anak mereka yang telah tamat sekolah dasar (SD) ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) yang letaknya sangat jauh dari kampong mereka. Sehingga para orang tua ini harus mengeluarkan biaya yang sangat besar bagi pendidikan anak-anak mereka. Padahal, rata-rata penghasilan mereka ini sangat kecil. Selaku Ketua RW setempat, Bahrudin mengumpulkan warganya dan mendialogkan permasalahan tersebut. Akhirnya, mereka bersepakat untuk membuat SLTP sendiri dengan biaya yang disesuaikan dengan kemampuan para warga. Dan masuklah 12 orang anak di sekolah yang kemudian dinamai Qaryah Thayyibah.
Sebuah prinsip yang dianut benar oleh sekolah Qaryah Thayyibah ini adalah guru tidak boleh mengajar atau mengarahkan. Guru hanya mendampingi dan mendukung keinginan anak, selama keinginan itu positif dan tidak membawa dampak negatif. Anak-anak diberi ruang berkreasi seluas-luasnya untuk mempelajari segala hal yang menjadi minat mereka masing-masing dengan segala hal yang ada di sekitar mereka. Dan pembelajaran yang dikembangkan adalah pembelajaran berbasis kebutuhan. Sehingga anak-anak mempelajari segala hal yang dekat dan sering mereka temukan dalam kehidupan sehari-hari dengan kapasitasnya masing-masing. Anak-anak diberi ruang untuk menentukan kompetensinya sendiri, bahkan sampai dalam penyusunan kurikulum.
Tentang fasilitas yang di awal telah disitir oleh Bahrudin, ternyata Sekolah Qaryah Thayyibah pun memulai dengan hal-hal yang sangat sederhana, salah satunya dengan me’manage’ uang jajan anak. Uang jajan itu diperuntukkan untuk tabungan penyediaan alat-alat sekolah termasuk komputer dan penyediaan sarana internet yang dirasakan sangat penting menurut anak-anak. Uang jajan ini pun diposisikan untuk memenuhi asupan gizi anak-anak sehari-hari, sehingga mereka dapat menikmati makanan sehat dan susu murni setiap hari. Khusus dalam penyediaan internet, Bahrudin banyak dibantu oleh seorang kawannya yang kebetulan mengawaki provider Indonet.
Dengan ruang pembelajaran yang sangat luas dan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak, prestasi anak-anak pun terus meningkat. Kemampuan berbahasa Inggris anak-anak Qaryah Thayyibah cukup bisa diandalkan. Dan kecakapan beberapa anak-anak dalam menulis pun telah menorehkan banyak prestasi. (bersambung)