Jumat, 30 Mei 2008
Hampir Separuh Anak Indonesia Perokok Pasif
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta Swasono mengatakan bahwa 43 persen anak-anak di Indonesia merupakan perokok pasif.
"Sekitar lebih dari 43 persen anak-anak Indonesia hidup serumah dengan perokok atau menjadi perokok pasif," kata Meneg PP dalam pidato sambutannya di acara peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia di Istana Negara Jakarta, Jumat (30/5).
Menurut Meneg PP, anak-anak yang menjadi perokok pasif itu secara tidak langsung ikut terancam dari bahaya rokok sekalipun tidak merokok.
Padahal zat-zat berbahaya yang terkandung dalam rokok dapat merusak kesehatan, bahkan hingga mengancam jiwa yang berakibat fatal pada kematian. Oleh karena itu pemerintah bertekad untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak Indonesia dari zat adiktif berbahaya seperti radioaktif, arsen, sianida dan karbon monoksida (CO) serta nikotin yang bersifat candu.
Meneg PP juga mengatakan bahwa usia perokok dini di Indonesia berkisar pada usia 7-9 tahun dan bahkan 5 tahun pada sejumlah masyarakat adat. Iklan, promosi dan sponsor rokok juga berperan penting dalam menciptakan budaya merokok pada remaja, Berdasarkan penelitian dampak keterpajangan iklan dan sponsor rokok terhadap kognitif, afeksi dan perilaku merokok remaja yang dilakukan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) tercatat 46,3 persen menunjukkan pengaruh besar untuk memulai merokok.
Oleh karena itu dalam peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia itu, publik juga diharapkan dapat bersama-sama menjadikan kalimat peringatan "merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin" bukan sekedar retorika tapi juga realita.
Atas keprihatinan akan hal itu, Kementerian Negara PP bersama Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Depdiknas RI serta perwakilan WHO di Indonesia telah menyusun "Buku Panduan Sekolah Tanpa Rokok".
Buku itu merupakan salah satu upaya untuk mendidik masyarakat terutama anak untuk memahami, menghayati dan menerapkan isi serta makna pengendalian tembakau, serta berperan aktif dalam pencegahan merokok di kalangan generasi muda.
Sementara itu dalam survei serentak WHO yang dilakukan di 100 negara secara serentak pada 2004-2006 termasuk Indonesia, terungkap bahwa 12,6 persen pelajar setingkat SMP adalah perokok dan sebanyak 30,9 persen pelajar perokok tersebut mulai merokok sebelum usia 10 tahun dan 3,2 persen dari mereka sudah kecanduan.
Hasil lain dari survei itu adalah 64,2 persen pelajar setara SMP menyatakan terpapar asap rokok orang lain --perokok pasif-- di rumah sendiri dan 81 persen pelajar setara SMP terpapar dari tempat-tempat umum.
http://www.kompas.com/read/xml/2008/05/30/17444918/hampir.separuh.anak.indonesia.perokok.pasif
Senin, 19 Mei 2008
SEKOLAH RAMAH ANAK
Mengapa kekerasan terhadap anak amat mudah terjadi? Salah satu jawabnya adalah karena banyak orang tidak mengenal dengan baik pengertian/batasan kekerasan terhadap anak.
Bahkan definisi berikut mungkin dipandang mengada-ada oleh sebagian orang. Kekerasan terhadap anak adalah “Semua bentuk perlakuan salah secara fisik dan/atau emosional, penganiayaan seksual, penelantaran, atau eksploitasi secara komersial atau lainnya yang mengakibatkan gangguan nyata ataupun potensial terhadap perkembangan, kesehatan, dan kelangsungan hidup anak ataupun terhadap martabatnya dalam konteks hubungan yang bertanggung jawab, kepercayaan, atau kekuasaan” (UNICEF, 2002).
Seorang ibu yang menjewer telinga anaknya agar mau mandi dianggap wajar, padahal tindakan itu berupa kekerasan fisik. Guru membentak-bentak murid agar mau duduk manis dan mendengarkan, terjadi di mana pun dan itu dianggap wajar, padahal guru telah melakukan kekerasan emosional. Bahkan kekerasan kepada anak sering “dibungkus” dengan alasan budaya. Misalnya, “Anak-anak di sini harus dipukul secara fisik agar disiplin karena budaya kita keras.”
Di tengah masih derasnya arus kekerasan seperti itu, diperlukan pendekatan baru, yakni penting menempuh pendekatan kelembutan terhadap anak. Dan salah satu tempat paling besar peluangnya untuk melakukan kelembutan terhadap anak adalah sekolah. Maka, sebaiknya dikembangkan apa yang disebut sekolah ramah anak (SRA). Kunci utama pembuka kemungkinan SRA tentu guru dan jalan menuju SRA yang harus ditempuh guru memang sulit, tetapi dapat dicoba.
Langkah awal
Rudolf Dreikurs menawarkan 10 langkah menuju SRA, antara lain, pertama, jadilah guru tidak lagi sebagai penguasa kelas/mata pelajaran atau mata pelajaran (mapel), tetapi pembimbing kelas/mapel.
Kedua, kurangi kelantangan suara dan utamakan keramahtamahan suara. Ketiga, kurangi sebanyak mungkin nada memerintah dan diganti ajakan.
Keempat, hindarkan sebanyak mungkin hal-hal yang menekan siswa.
Kelima, hal-hal yang menekan diganti dengan memberi motivasi sehingga bukan paksaan yang dimunculkan, tetapi memberi stimulasi.
Keenam, jauhkan sikap guru yang ingin “menguasai” siswa karena yang lebih baik ialah mengendalikan. Hal itu terungkap bukan dengan kata-kata mencela, tetapi kata-kata guru yang membangun keberanian/kepercayaan diri siswa.
Ketujuh, guru hendaknya menjauhkan diri dari hanya mencari-cari kesalahan siswa, tetapi akuilah prestasi sekecil apa pun yang dihasilkan siswa.
Kedelapan, guru sering berkata, “Aku yang menentukan, kalian menurut saja apa perintahku,” gantilah dengan “Aku anjurkan/minta, mari kalian ikut menentukannya juga.”
Perubahan sikap guru tak akan banyak berarti jika tidak terus dikomunikasikan kepada siswa, kepala sekolah, orangtua siswa, dan pihak lain, seperti polisi.
Peran dan kekerasan
Guru hendaknya memberi tahu (dan mengajak siswa) tentang pentingnya gerakan antikekerasan di sekolah. Sekecil apa pun tindak kekerasan terhadap siswa harus didiskusikan dan dicari penyelesaiannya. Laporan adanya tindak kekerasan juga perlu diakomodasi cepat dan jangan dibiarkan/tertunda sampai hari berikut.
Langkah lebih lanjut yang lebih jitu adalah libatkan siswa menyusun peraturan sekolah atau mendaftar perilaku yang baik yang harus ditunjukkan, baik oleh guru maupun siswa, setiap saat. Melibatkan siswa membuat rambu-rambu atau aturan pasti akan membuahkan hal yang amat mengejutkan bagi banyak guru.
Selama ini aturan sekolah disusun hanya oleh sekolah (kepala sekolah dan guru), padahal seharusnya dibuat oleh siswa sendiri berikut sanksinya. Semakin sering sekolah mendatangkan pihak kepolisian pasti berdampak baik karena siswa dapat semakin akrab dengan polisi sehingga berani melaporkan jika terjadi kekerasan apa pun.
Pihak orangtua (komite sekolah) dapat memfasilitasi hal-hal seperti mendatangkan polisi dan mengundang aparat pemerintah setempat untuk memberikan perhatian kepada sekolah.
Singkatnya, SRA amat mudah dan murah dilaksanakan di semua sekolah di mana pun berada, tetapi hasilnya akan amat mengagumkan ketika kita menyaksikan (kelak) tidak ada lagi kekerasan terhadap anak-anak oleh siapa pun.
JC Tukiman Taruna
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0711/29/opini/4015330.htm
Mengapa kekerasan terhadap anak amat mudah terjadi? Salah satu jawabnya adalah karena banyak orang tidak mengenal dengan baik pengertian/batasan kekerasan terhadap anak.
Bahkan definisi berikut mungkin dipandang mengada-ada oleh sebagian orang. Kekerasan terhadap anak adalah “Semua bentuk perlakuan salah secara fisik dan/atau emosional, penganiayaan seksual, penelantaran, atau eksploitasi secara komersial atau lainnya yang mengakibatkan gangguan nyata ataupun potensial terhadap perkembangan, kesehatan, dan kelangsungan hidup anak ataupun terhadap martabatnya dalam konteks hubungan yang bertanggung jawab, kepercayaan, atau kekuasaan” (UNICEF, 2002).
Seorang ibu yang menjewer telinga anaknya agar mau mandi dianggap wajar, padahal tindakan itu berupa kekerasan fisik. Guru membentak-bentak murid agar mau duduk manis dan mendengarkan, terjadi di mana pun dan itu dianggap wajar, padahal guru telah melakukan kekerasan emosional. Bahkan kekerasan kepada anak sering “dibungkus” dengan alasan budaya. Misalnya, “Anak-anak di sini harus dipukul secara fisik agar disiplin karena budaya kita keras.”
Di tengah masih derasnya arus kekerasan seperti itu, diperlukan pendekatan baru, yakni penting menempuh pendekatan kelembutan terhadap anak. Dan salah satu tempat paling besar peluangnya untuk melakukan kelembutan terhadap anak adalah sekolah. Maka, sebaiknya dikembangkan apa yang disebut sekolah ramah anak (SRA). Kunci utama pembuka kemungkinan SRA tentu guru dan jalan menuju SRA yang harus ditempuh guru memang sulit, tetapi dapat dicoba.
Langkah awal
Rudolf Dreikurs menawarkan 10 langkah menuju SRA, antara lain, pertama, jadilah guru tidak lagi sebagai penguasa kelas/mata pelajaran atau mata pelajaran (mapel), tetapi pembimbing kelas/mapel.
Kedua, kurangi kelantangan suara dan utamakan keramahtamahan suara. Ketiga, kurangi sebanyak mungkin nada memerintah dan diganti ajakan.
Keempat, hindarkan sebanyak mungkin hal-hal yang menekan siswa.
Kelima, hal-hal yang menekan diganti dengan memberi motivasi sehingga bukan paksaan yang dimunculkan, tetapi memberi stimulasi.
Keenam, jauhkan sikap guru yang ingin “menguasai” siswa karena yang lebih baik ialah mengendalikan. Hal itu terungkap bukan dengan kata-kata mencela, tetapi kata-kata guru yang membangun keberanian/kepercayaan diri siswa.
Ketujuh, guru hendaknya menjauhkan diri dari hanya mencari-cari kesalahan siswa, tetapi akuilah prestasi sekecil apa pun yang dihasilkan siswa.
Kedelapan, guru sering berkata, “Aku yang menentukan, kalian menurut saja apa perintahku,” gantilah dengan “Aku anjurkan/minta, mari kalian ikut menentukannya juga.”
Perubahan sikap guru tak akan banyak berarti jika tidak terus dikomunikasikan kepada siswa, kepala sekolah, orangtua siswa, dan pihak lain, seperti polisi.
Peran dan kekerasan
Guru hendaknya memberi tahu (dan mengajak siswa) tentang pentingnya gerakan antikekerasan di sekolah. Sekecil apa pun tindak kekerasan terhadap siswa harus didiskusikan dan dicari penyelesaiannya. Laporan adanya tindak kekerasan juga perlu diakomodasi cepat dan jangan dibiarkan/tertunda sampai hari berikut.
Langkah lebih lanjut yang lebih jitu adalah libatkan siswa menyusun peraturan sekolah atau mendaftar perilaku yang baik yang harus ditunjukkan, baik oleh guru maupun siswa, setiap saat. Melibatkan siswa membuat rambu-rambu atau aturan pasti akan membuahkan hal yang amat mengejutkan bagi banyak guru.
Selama ini aturan sekolah disusun hanya oleh sekolah (kepala sekolah dan guru), padahal seharusnya dibuat oleh siswa sendiri berikut sanksinya. Semakin sering sekolah mendatangkan pihak kepolisian pasti berdampak baik karena siswa dapat semakin akrab dengan polisi sehingga berani melaporkan jika terjadi kekerasan apa pun.
Pihak orangtua (komite sekolah) dapat memfasilitasi hal-hal seperti mendatangkan polisi dan mengundang aparat pemerintah setempat untuk memberikan perhatian kepada sekolah.
Singkatnya, SRA amat mudah dan murah dilaksanakan di semua sekolah di mana pun berada, tetapi hasilnya akan amat mengagumkan ketika kita menyaksikan (kelak) tidak ada lagi kekerasan terhadap anak-anak oleh siapa pun.
JC Tukiman Taruna
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0711/29/opini/4015330.htm
PENGAMAT PENDIDIKAN: UJIAN NASIONAL LANGGAR HAM
Pengamat pendidikan Utomo Danandjaja menyatakan pelaksanaan Ujian Nasional untuk sekolah dasar dan sekolah menengah melanggar hak asasi manusia dan Pancasila. Pemerintah dituding tidak peduli terhadap hak pendidikan masyarakat.
Dalam diskusi "Untung-Rugi Ujian Nasional" di kantor Dewan Perwakilan Daerah, kompleks DPR/MPR Jakarta, Jumat (25/4), Utomo Danandjaja mengatakan, penetapan standar kelulusan mengkotak-kotakkan "kelas" yang terpisah antara siswa yang cerdas dan yang bodoh. "Ideologinya diskriminatif," kata Utomo Danandjaja yang juga Direktur Pendidikan Universitas Paramadina Jakarta.
Menurut Utomo, tidak ada jaminan siswa yang lulus dengan angka tinggi adalah siswa cerdas dan pekerja keras. Ujian Nasional cenderung mengistimewakan hak pendidikan bagi anak cerdas, sedangkan anak yang tidak cerdas dirampas haknya untuk mendapatkan pendidikan.
Diskriminasi itu, kata dia, adalah bentuk pengingkaran pemerintah terhadap kehendak rakyat. Padahal, Pasal 5 Ayat 1 UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan bermutu. Namun ketika UU itu diterapkan melalui peraturan pemerintah justru menghasilkan aturan yang tidak berpihak pada rakyat. "Pemerintah melanggar undang-undangnya sendiri." Pemerintah seharusnya memperlakukan siswa sesuai kemampuan masing-masing. Misalnya, dengan menerapkan kurikulum atau sekolah khusus untuk tiap-tiap bakat dan minat.
Utomo menyatakan Ujian Nasional tidak memberikan manfaat apa pun. Karena itu, syarat kelulusan harus kembali ditentukan oleh sekolah sebagai pelaksana pendidikan."Manfaat UN itu apa? Hanya administratif! Surat lulus dipakai untuk SPMB (seleksi penerimaan mahasiswa baru). Kalau yang melamar jadi PNS, itu untuk syarat panggilan."
Dia juga memprotes alasan pemerintah yang menyebutkan Ujian Nasional sebagai sarana pemetaan kualitas pendidikan. Pemetaan kualitas pendidikan seharusnya dilaksanakan menyeluruh pada akhir proses belajar-mengajar dan sebelum evaluasi pemerintah seharusnya melengkapi terlebih dahulu 7 standar pendidikan yang diatur dalam PP 19/2005, seperti perbaikan mutu dan pengadaan anggaran pendidikan.
Utomo mengusulkan pemerintah menghapus Ujian Nasional dan harus melakukan pemerataan pendidikan yang disesuaikan dengan keadaan lokasi setiap sekolah, termasuk meningkatkan anggaran pendidikan. "Salah satunya anggaran belanja," ujarnya.
Anggota Panitia Ad Hoc III DPD Soemardi Taher menyebutkan, anggaran pendidikan selalu tersendat di jalur birokrasi. Akibatnya, penyaluran dana tersebut tidak lancar sampai ke sekolah. Menurut dia, prioritas pemerintah adalah pemerataan pendidikan. Jika pemerataan pendidikan tercapai, maka Ujian Nasional tidak perlu dilakukan. "Sebab, setiap daerah memiliki perbedaan. Jadi, harus jelas pemerataannya," kata anggota DPD asal Provinsi Riau itu.
25 APRIL 2008 http://www.vhrmedia.com/
Pengamat pendidikan Utomo Danandjaja menyatakan pelaksanaan Ujian Nasional untuk sekolah dasar dan sekolah menengah melanggar hak asasi manusia dan Pancasila. Pemerintah dituding tidak peduli terhadap hak pendidikan masyarakat.
Dalam diskusi "Untung-Rugi Ujian Nasional" di kantor Dewan Perwakilan Daerah, kompleks DPR/MPR Jakarta, Jumat (25/4), Utomo Danandjaja mengatakan, penetapan standar kelulusan mengkotak-kotakkan "kelas" yang terpisah antara siswa yang cerdas dan yang bodoh. "Ideologinya diskriminatif," kata Utomo Danandjaja yang juga Direktur Pendidikan Universitas Paramadina Jakarta.
Menurut Utomo, tidak ada jaminan siswa yang lulus dengan angka tinggi adalah siswa cerdas dan pekerja keras. Ujian Nasional cenderung mengistimewakan hak pendidikan bagi anak cerdas, sedangkan anak yang tidak cerdas dirampas haknya untuk mendapatkan pendidikan.
Diskriminasi itu, kata dia, adalah bentuk pengingkaran pemerintah terhadap kehendak rakyat. Padahal, Pasal 5 Ayat 1 UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan bermutu. Namun ketika UU itu diterapkan melalui peraturan pemerintah justru menghasilkan aturan yang tidak berpihak pada rakyat. "Pemerintah melanggar undang-undangnya sendiri." Pemerintah seharusnya memperlakukan siswa sesuai kemampuan masing-masing. Misalnya, dengan menerapkan kurikulum atau sekolah khusus untuk tiap-tiap bakat dan minat.
Utomo menyatakan Ujian Nasional tidak memberikan manfaat apa pun. Karena itu, syarat kelulusan harus kembali ditentukan oleh sekolah sebagai pelaksana pendidikan."Manfaat UN itu apa? Hanya administratif! Surat lulus dipakai untuk SPMB (seleksi penerimaan mahasiswa baru). Kalau yang melamar jadi PNS, itu untuk syarat panggilan."
Dia juga memprotes alasan pemerintah yang menyebutkan Ujian Nasional sebagai sarana pemetaan kualitas pendidikan. Pemetaan kualitas pendidikan seharusnya dilaksanakan menyeluruh pada akhir proses belajar-mengajar dan sebelum evaluasi pemerintah seharusnya melengkapi terlebih dahulu 7 standar pendidikan yang diatur dalam PP 19/2005, seperti perbaikan mutu dan pengadaan anggaran pendidikan.
Utomo mengusulkan pemerintah menghapus Ujian Nasional dan harus melakukan pemerataan pendidikan yang disesuaikan dengan keadaan lokasi setiap sekolah, termasuk meningkatkan anggaran pendidikan. "Salah satunya anggaran belanja," ujarnya.
Anggota Panitia Ad Hoc III DPD Soemardi Taher menyebutkan, anggaran pendidikan selalu tersendat di jalur birokrasi. Akibatnya, penyaluran dana tersebut tidak lancar sampai ke sekolah. Menurut dia, prioritas pemerintah adalah pemerataan pendidikan. Jika pemerataan pendidikan tercapai, maka Ujian Nasional tidak perlu dilakukan. "Sebab, setiap daerah memiliki perbedaan. Jadi, harus jelas pemerataannya," kata anggota DPD asal Provinsi Riau itu.
25 APRIL 2008 http://www.vhrmedia.com/
PBB : ANGKA KEKERASAN ANAK DI INDONESIA TINGGI
Berdasarkan penelitian yang didukung oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Masalah Anak (Unicef), masih banyak anak-anak di Indonesia yang mendapatkan perlakuan buruk.
Dalam dua penelitian Unicef pada 2002-2003 di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, terungkap kalau perlakuan terhadap anak masih buruk dan membahayakan.
"Penelitian ini dengan jelas menunjukkan bahwa jumlah tindak kekerasan terhadap anak di Indonesia sangat tinggi," demikian yang tertulis dalam Kajian Sekretaris Jenderal PBB mengenai Kekerasan terhadap Anak yang dipresentasikan di hadapan Sidang Umum PBB, Rabu (11/10).
Survei yang dilakukan pada 2002 melibatkan 125 anak dan berlangsung selama enam bulan. Survei itu meliputi wawancara yang diawasi dengan sangat teliti. Dari survei itu terungkap, dua per tiga anak laki-laki dan sepertiga anak perempuan pernah dipukul. Lebih dari seperempat anak perempuan dalam survei itu mengalami perkosaan.
Survei yang jauh lebih luas dilakukan pada 2003 dan melibatkan sekitar 1.700 anak. Dari survei itu terungkap, sebagian besar anak mengaku pernah ditampar, dipukul, atau dilempar dengan benda. Namun, tidak ada bukti telah terjadi pemerkosaan.
Pada awal 2006, temuan penelitian mendalam mengenai kekerasan terhadap anak di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara menunjukkan, tindak kekerasan di sekolah melibatkan kekerasan terhadap fisik dan mental.
Di Jawa Tengah, sebanyak 80 persen guru mengaku pernah menghukum anak-anak dengan berteriak pada mereka di depan kelas. Sebanyak 55 persen guru mengaku pernah menyuruh murid mereka berdiri di depan kelas.
Di Sulawesi Selatan, sebanyak 90 persen guru mengaku pernah menyuruh murid berdiri di depan kelas, diikuti oleh 73 persen pernah berteriak kepada murid, dan 54 persen pernah menyuruh murid untuk membersihkan atau mengelap toilet.
Sementara itu, di Sumatera Utara, lebih dari 90 persen guru mengaku pernah menyuruh murid mereka berdiri di depan kelas, dan 80 persen pernah berteriak pada murid.
"Semua bentuk hukuman ini mempermalukan dan merendahkan harga diri dan kemampuan anak," tulis laporan itu. Diungkapkan, banyak kekerasan terhadap anak yang bersifat tersembunyi dan sering disetujui secara sosial.
http://www.menegpp.go.id/menegpp.php?cat=detail&id=media&dat=495
Berdasarkan penelitian yang didukung oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Masalah Anak (Unicef), masih banyak anak-anak di Indonesia yang mendapatkan perlakuan buruk.
Dalam dua penelitian Unicef pada 2002-2003 di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, terungkap kalau perlakuan terhadap anak masih buruk dan membahayakan.
"Penelitian ini dengan jelas menunjukkan bahwa jumlah tindak kekerasan terhadap anak di Indonesia sangat tinggi," demikian yang tertulis dalam Kajian Sekretaris Jenderal PBB mengenai Kekerasan terhadap Anak yang dipresentasikan di hadapan Sidang Umum PBB, Rabu (11/10).
Survei yang dilakukan pada 2002 melibatkan 125 anak dan berlangsung selama enam bulan. Survei itu meliputi wawancara yang diawasi dengan sangat teliti. Dari survei itu terungkap, dua per tiga anak laki-laki dan sepertiga anak perempuan pernah dipukul. Lebih dari seperempat anak perempuan dalam survei itu mengalami perkosaan.
Survei yang jauh lebih luas dilakukan pada 2003 dan melibatkan sekitar 1.700 anak. Dari survei itu terungkap, sebagian besar anak mengaku pernah ditampar, dipukul, atau dilempar dengan benda. Namun, tidak ada bukti telah terjadi pemerkosaan.
Pada awal 2006, temuan penelitian mendalam mengenai kekerasan terhadap anak di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara menunjukkan, tindak kekerasan di sekolah melibatkan kekerasan terhadap fisik dan mental.
Di Jawa Tengah, sebanyak 80 persen guru mengaku pernah menghukum anak-anak dengan berteriak pada mereka di depan kelas. Sebanyak 55 persen guru mengaku pernah menyuruh murid mereka berdiri di depan kelas.
Di Sulawesi Selatan, sebanyak 90 persen guru mengaku pernah menyuruh murid berdiri di depan kelas, diikuti oleh 73 persen pernah berteriak kepada murid, dan 54 persen pernah menyuruh murid untuk membersihkan atau mengelap toilet.
Sementara itu, di Sumatera Utara, lebih dari 90 persen guru mengaku pernah menyuruh murid mereka berdiri di depan kelas, dan 80 persen pernah berteriak pada murid.
"Semua bentuk hukuman ini mempermalukan dan merendahkan harga diri dan kemampuan anak," tulis laporan itu. Diungkapkan, banyak kekerasan terhadap anak yang bersifat tersembunyi dan sering disetujui secara sosial.
http://www.menegpp.go.id/menegpp.php?cat=detail&id=media&dat=495
KEKERASAN PADA ANAK HARUS DIAKHIRI
"Pengalaman saya waktu saya kelas V SD, ada guru yang jahat sehingga tidak disukai anak-anak. Sebab, bapak guru itu suka memaki-maki anak dengan kata-kata seperti dasar anak bodoh, pemalas."
Begitu penuturan Mario yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagaimana dikisah ulang oleh Project Officer Unicef Astrid Gonzaga Dionisia dalam seminar "Gerakan Anak Asuh" di Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, akhir pekan lalu.
Apa yang dituturkan Mario tersebut adalah contoh kecil dari banyak kekerasan yang dialami anak-anak, baik di lingkungan rumah ataupun sekolah. Dalam konteks tersebut, guru seharusnya menjadi seorang pendidik, bukan malah mencela dan merendahkan murid-muridnya.
Selain diejek atau dicela, anak-anak—terutama anak laki-laki—mengalami kekerasan fisik dan dilakukan dengan sangat kasar. Misalnya, pelaku cenderung menggunakan alat untuk memukul. Kekerasan seksual pun dialami anak laki-laki.
Sementara anak perempuan lebih banyak mengalami kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Kekerasan fisik juga dialami anak perempuan, hanya saja pada tingkat yang lebih sedikit dibandingkan anak laki-laki. Seluruh tubuh anak perempuan bisa menjadi sasaran tindak kekerasan: mulai dari ujung rambut sampai ujung jari kaki.
Menurut M Aziz Syamsuddin dari Komisi III DPR, tindak kekerasan pada anak bisa berdampak terhadap penyimpangan perilaku anak. Sebutlah seperti anak menjadi pendiam, menyimpan amarah, dendam dan sakit hati, serta kebencian.
Berbagai fenomena tersebut masih terus terjadi karena adanya paradigma yang keliru pada masyarakat kita. Anak masih saja dianggap tidak memiliki hak, dan oleh karena itu harus menurut kepada orangtuanya.
Kekerasan dan paradigma semacam ini harus segera diakhiri. Sudah saatnya orangtua menyadari bahwa anak-anak pun memiliki hak asasi, seperti halnya manusia dewasa lain yang juga harus dihargai.
Melihat buruknya perlindungan terhadap anak, maka hak-hak anak perlu ditegakkan, antara lain hak untuk hidup layak, tumbuh dan berkembang optimal, memperoleh perlindungan dan ikut berpartisipasi dalam hal-hal yang menyangkut nasibnya sendiri sebagai anak.
Sebenarnya, hak anak telah diatur dalam Konvensi Hak Anak, yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia pada tahun 1990, disusul disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalamnya dicantumkan berbagai sanksi bagi pelanggaran hak anak.
Bahkan, pada Pasal 80 UU Perlindungan Anak tersebut, orangtua diposisikan pada garda paling depan bagi upaya perlindungan anak. Oleh karena itu, tidak aneh bila sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak akan ditambah sepertiga jika yang melakukan kekerasan adalah orangtuanya sendiri. Ironinya, kenyataan yang ada justru umumnya para orangtualah pelaku tindak kekerasan terhadap anak-anak mereka.
Oleh karena itu, menurut Ketua Lembaga Penelitian Universitas Atma Jaya Jakarta Irwanto PhD, tantangan atas perlindungan anak di Indonesia sangat besar. UU saja tidak cukup. Indonesia memerlukan dukungan sistem atau struktur yang jelas dan investasi/alokasi dana yang mencukupi untuk membentuk apa yang ia sebut scan team.
UU yang ada, menurut Irwanto, tidak lengkap. Terutama terkait dengan definisi kekerasan, age of sexual consent, dan mekanisme penanganan. UU yang ada pun dinilai tidak konsisten: anak dipandang sebagai korban atau kriminal?
"Jadi, selain hukum dan UU, kita memerlukan mainstream child protection di semua lini, perlu segera ada struktur dan mekanisme scan yang jelas," kata Irwanto.
Kompas, September 26, 2006
"Pengalaman saya waktu saya kelas V SD, ada guru yang jahat sehingga tidak disukai anak-anak. Sebab, bapak guru itu suka memaki-maki anak dengan kata-kata seperti dasar anak bodoh, pemalas."
Begitu penuturan Mario yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagaimana dikisah ulang oleh Project Officer Unicef Astrid Gonzaga Dionisia dalam seminar "Gerakan Anak Asuh" di Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, akhir pekan lalu.
Apa yang dituturkan Mario tersebut adalah contoh kecil dari banyak kekerasan yang dialami anak-anak, baik di lingkungan rumah ataupun sekolah. Dalam konteks tersebut, guru seharusnya menjadi seorang pendidik, bukan malah mencela dan merendahkan murid-muridnya.
Selain diejek atau dicela, anak-anak—terutama anak laki-laki—mengalami kekerasan fisik dan dilakukan dengan sangat kasar. Misalnya, pelaku cenderung menggunakan alat untuk memukul. Kekerasan seksual pun dialami anak laki-laki.
Sementara anak perempuan lebih banyak mengalami kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Kekerasan fisik juga dialami anak perempuan, hanya saja pada tingkat yang lebih sedikit dibandingkan anak laki-laki. Seluruh tubuh anak perempuan bisa menjadi sasaran tindak kekerasan: mulai dari ujung rambut sampai ujung jari kaki.
Menurut M Aziz Syamsuddin dari Komisi III DPR, tindak kekerasan pada anak bisa berdampak terhadap penyimpangan perilaku anak. Sebutlah seperti anak menjadi pendiam, menyimpan amarah, dendam dan sakit hati, serta kebencian.
Berbagai fenomena tersebut masih terus terjadi karena adanya paradigma yang keliru pada masyarakat kita. Anak masih saja dianggap tidak memiliki hak, dan oleh karena itu harus menurut kepada orangtuanya.
Kekerasan dan paradigma semacam ini harus segera diakhiri. Sudah saatnya orangtua menyadari bahwa anak-anak pun memiliki hak asasi, seperti halnya manusia dewasa lain yang juga harus dihargai.
Melihat buruknya perlindungan terhadap anak, maka hak-hak anak perlu ditegakkan, antara lain hak untuk hidup layak, tumbuh dan berkembang optimal, memperoleh perlindungan dan ikut berpartisipasi dalam hal-hal yang menyangkut nasibnya sendiri sebagai anak.
Sebenarnya, hak anak telah diatur dalam Konvensi Hak Anak, yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia pada tahun 1990, disusul disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalamnya dicantumkan berbagai sanksi bagi pelanggaran hak anak.
Bahkan, pada Pasal 80 UU Perlindungan Anak tersebut, orangtua diposisikan pada garda paling depan bagi upaya perlindungan anak. Oleh karena itu, tidak aneh bila sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak akan ditambah sepertiga jika yang melakukan kekerasan adalah orangtuanya sendiri. Ironinya, kenyataan yang ada justru umumnya para orangtualah pelaku tindak kekerasan terhadap anak-anak mereka.
Oleh karena itu, menurut Ketua Lembaga Penelitian Universitas Atma Jaya Jakarta Irwanto PhD, tantangan atas perlindungan anak di Indonesia sangat besar. UU saja tidak cukup. Indonesia memerlukan dukungan sistem atau struktur yang jelas dan investasi/alokasi dana yang mencukupi untuk membentuk apa yang ia sebut scan team.
UU yang ada, menurut Irwanto, tidak lengkap. Terutama terkait dengan definisi kekerasan, age of sexual consent, dan mekanisme penanganan. UU yang ada pun dinilai tidak konsisten: anak dipandang sebagai korban atau kriminal?
"Jadi, selain hukum dan UU, kita memerlukan mainstream child protection di semua lini, perlu segera ada struktur dan mekanisme scan yang jelas," kata Irwanto.
Kompas, September 26, 2006
Anak Indonesia Rentan Jadi Korban Kekerasan
Anak-anak Indonesia pada masa sekarang lebih rentan menjadi korban tindak kekerasan ketimbang zaman dahulu karena terjadinya pergeseran nilai, kata Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Masnah Sari.
"Anak-anak Indonesia sekarang lebih rentan daripada zaman waktu kita masih kecil, terutama dalam hal kekerasan," katanya di sela Sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Anak di Graha Bumiphala, Kompleks Kantor Bupati Temanggung, di Temanggung, Jawa Tengah, Rabu.
Ia mengatakan, selain akibat pergeseran nilai, pendidikan anak juga karena terkait perubahan perilaku anak dan kewajiban orang tua untuk memenuhi hak-hak anak.
Kekerasan terhadap anak, katanya, bukan saja terjadi di luar rumah tetapi juga di dalam rumah baik oleh orang tua maupun keluarga lainnya.
Ia mengatakan, kemajuan pesat bidang teknologi informasi juga memengaruhi kondisi anak Indonesia zaman sekarang yang rentan menjadi korban kekerasan.
"Kemajuan teknologi informasi yang terjadi dan melanda negeri kita, di mana akses-akses itu bisa melalui televisi, internet, dan apabila anak-anak sekarang banyak yang ke warnet, ternyata warnet itu sumber dari segala sumber penghancuran anak-anak kita melalui situs-situs porno," katanya.
Saat ini, katanya, di dunia terdapat sekitar 4,2 juta situs porno di antaranya sekitar 100 ribu situs pornografi dengan pelaku dan korbannya adalah anak.
Ia mengatakan, situs porno telah menjadi salah satu penyebab utama anak-anak berhadapan dengan masalah hukum.
"Mereka memperkosa anak yang lebih kecil, ditangkap, ditutut, diadili, dan ini sebetulnya yang anak demikian korban atau pelaku, saya rasa pelakunya itu justru yang menyuguhkan gambar porno itu, tetapi dalam kasus-kasus di pengadilan selalu anak yang menjadi pelaku, padahal anak itu korban. KPAI menyesalkan kalau diterus-teruskan, kita akan kehilangan masa depan anak," katanya.
Pada kesempatan itu, Masnah menjelaskan tentang maraknya kasus pedofilia di beberapa kota seperti Bali, Tangerang, Jakarta, dan Surabaya yang terungkap beberapa waktu lalu dengan pelaku warga negara asing dan korban anak-anak Indonesia.
"Ada juga yang dibawa ke luar negeri, di daerah-daerah perbatasan. Anak Indonesia banyak menjadi korban," katanya.
Ia menegaskan perlunya penanganan hukum secara tegas atas berbagai kasus kekerasan terhadap anak. Apalagi Indonesia telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Trafficking, dan Undang-Undang Peradilan Anak.
"KPAI meminta pemerintah agar penegakan hukum khusus untuk kejahatan anak lebih ditegakan lebih tegas, dihukum sebagaimana mestinya. Pasal 54 Undang-Undang Perlindungan Anak hukumannya 15 tahun, tetapi kenyataanya mereka yang tertangkap cuma sebentar (Masa hukumannya,red) kemudian keluar, keluar negeri balik lagi, ada yang bolak-balik ke Indonesia orang asingnya itu," katanya.
Pemerintah terutama Dinas Sosial dan Departemen Kesehatan juga wajib melakukan program rehabilitasi kepada anak korban kekerasan supaya mereka sembuh dari trauma dan memiliki masa depan lagi, kata Masnah Sari menambahkan. (*)
09/04/08 http://www.antara.co.id/
Anak-anak Indonesia pada masa sekarang lebih rentan menjadi korban tindak kekerasan ketimbang zaman dahulu karena terjadinya pergeseran nilai, kata Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Masnah Sari.
"Anak-anak Indonesia sekarang lebih rentan daripada zaman waktu kita masih kecil, terutama dalam hal kekerasan," katanya di sela Sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Anak di Graha Bumiphala, Kompleks Kantor Bupati Temanggung, di Temanggung, Jawa Tengah, Rabu.
Ia mengatakan, selain akibat pergeseran nilai, pendidikan anak juga karena terkait perubahan perilaku anak dan kewajiban orang tua untuk memenuhi hak-hak anak.
Kekerasan terhadap anak, katanya, bukan saja terjadi di luar rumah tetapi juga di dalam rumah baik oleh orang tua maupun keluarga lainnya.
Ia mengatakan, kemajuan pesat bidang teknologi informasi juga memengaruhi kondisi anak Indonesia zaman sekarang yang rentan menjadi korban kekerasan.
"Kemajuan teknologi informasi yang terjadi dan melanda negeri kita, di mana akses-akses itu bisa melalui televisi, internet, dan apabila anak-anak sekarang banyak yang ke warnet, ternyata warnet itu sumber dari segala sumber penghancuran anak-anak kita melalui situs-situs porno," katanya.
Saat ini, katanya, di dunia terdapat sekitar 4,2 juta situs porno di antaranya sekitar 100 ribu situs pornografi dengan pelaku dan korbannya adalah anak.
Ia mengatakan, situs porno telah menjadi salah satu penyebab utama anak-anak berhadapan dengan masalah hukum.
"Mereka memperkosa anak yang lebih kecil, ditangkap, ditutut, diadili, dan ini sebetulnya yang anak demikian korban atau pelaku, saya rasa pelakunya itu justru yang menyuguhkan gambar porno itu, tetapi dalam kasus-kasus di pengadilan selalu anak yang menjadi pelaku, padahal anak itu korban. KPAI menyesalkan kalau diterus-teruskan, kita akan kehilangan masa depan anak," katanya.
Pada kesempatan itu, Masnah menjelaskan tentang maraknya kasus pedofilia di beberapa kota seperti Bali, Tangerang, Jakarta, dan Surabaya yang terungkap beberapa waktu lalu dengan pelaku warga negara asing dan korban anak-anak Indonesia.
"Ada juga yang dibawa ke luar negeri, di daerah-daerah perbatasan. Anak Indonesia banyak menjadi korban," katanya.
Ia menegaskan perlunya penanganan hukum secara tegas atas berbagai kasus kekerasan terhadap anak. Apalagi Indonesia telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Trafficking, dan Undang-Undang Peradilan Anak.
"KPAI meminta pemerintah agar penegakan hukum khusus untuk kejahatan anak lebih ditegakan lebih tegas, dihukum sebagaimana mestinya. Pasal 54 Undang-Undang Perlindungan Anak hukumannya 15 tahun, tetapi kenyataanya mereka yang tertangkap cuma sebentar (Masa hukumannya,red) kemudian keluar, keluar negeri balik lagi, ada yang bolak-balik ke Indonesia orang asingnya itu," katanya.
Pemerintah terutama Dinas Sosial dan Departemen Kesehatan juga wajib melakukan program rehabilitasi kepada anak korban kekerasan supaya mereka sembuh dari trauma dan memiliki masa depan lagi, kata Masnah Sari menambahkan. (*)
09/04/08 http://www.antara.co.id/
REALITAS KEKERASAN TERHADAP ANAK DI INDONESIA
Kasus kekerasan anak terus menunjukkan kecenderungan meningkat dari waktu ke waktu. Menurut data KOMNAS PA (Republika, Desember 2005), dinyatakan bahwa pada tahun 2004 terdapat 441 kasus kekerasan terhadap anak dan sampai dengan akhir tahun 2005 angkanya meningkat menjadi 688 kasus. Dari 688 kasus tersebut terdiri dari 307 kasus kekerasan seksual, 221 kekerasan fisik, dan 160 kekerasan psikis. Selain itu, dari Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) menyatakan bahwa terdapat sebanyak 2.052 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan pada tahun 2004.
Ragam kekerasan yang menimpa anak anak dan perempuan meliputi perkosaan, pemukulan (corporal punishment), penelantaran, dan lain lain, sebagiannya (19%) adalah terjadi di dalam rumah tangga atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Selanjutnya, dinyatakan bahwa 69% pelaku kekerasan adalah orang yang dikenal anak, sedangkan 31% pelakunya tidak dikenal.
Beberapa Faktor Penyebab Kekerasan Terhadap Anak
Pertama, faktor kemiskinan menyebabkan rendahnya kemampuan ekonomi keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Kesulitan ekonomi ini selanjutnya akan memicu timbulnya ketegangan dalam kehidupan keluarga.
Apabila rendahnya ekonomi keluarga berlanjut tanpa ada perbaikan, maka para orangtua cenderung menjadi panik dan gelap mata, maka mereka tega melakukan penyiksaan atau kekerasaan fisik terhadap anaknya tanpa mempertimbangkan dampak negatif atau trauma yang akan terjadi dari kekerasan yang mereka lakukan.
Kedua, masih kuatnya nilai budaya lokal yang memposisikan orangtua sebagai satu kekuasaan yang membuat orangtua merasa punya hak penuh untuk memperlakukan apa saja terhadap anaknya baik dalam menghukum, melakukan kekerasan, mempekerjakan anaknya secara eksplotatif dalam jenis pekerjaan apa saja terhadap anaknya. Mereka lupa bahwa anak itu bukan miliknya namun anak adalah amanah Tuhan yang harus dibina dengan baik dan dipenuhi hak-haknya.
Ketiga, masih kuatnya anggapan bahwa anak adalah anggota dan milik keluarga sehingga apapun urusan masalah anak adalah urusan internal yang tidak perlu dicampuri oleh orang luar. Adanya anggapan tersebut membuat warga sekitar enggan untuk mencampuri apabila ada kasus kekerasan terjadi pada warganya. Hal ini menyebabkan kasus kekerasan tidak/jarang terungkap ke permukaan dan hanya merupakan fenomena gunung es dan kasus kekerasan terus berlanjut di masyarakat.
Keempat, masih rendahnya pemahaman dan kesadaran para orangtua akan hak-hak anak yang perlu dipenuhi agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara baik. Dengan kondisi seperti ini, maka pola pengasuhan anak yang salah sering terjadi di sebagian masyarakat. Anak harus patuh dan tunduk pada orang tua tanpa diberi kesempatan menyuarakan pendapatnya untuk memilih mana yang terbaik untuk dirinya.
Kelima, perkawinan usia dini merupakan perkawinan yang dipaksakan karena beberapa sebab, menjadikan ketidaksiapan pasangan baru ini baik dari segi pengetahuan maupun cara-cara mendidik anaknya secara baik dan benar tanpa tindak kekerasan.
Sudut Pandang Kekerasan Terhadap Anak
Tindak kekerasan pada anak sebagai sebuah gejala sosial dapat dilihat dari beberapa sudut pandang antara lain:
Pertama, sudut pandang perilaku kekerasan merupakan hasil dari cara pandang yang memaknai kekerasan sebagai salah satu jalan atau jalan satu-satunya untuk memecahkan masalah. Cara pandang tersebut seringkali berhubungan erat dengan pola pikir dan nilai-nilai yang berlebihan dalam memaknai berbagai atribut sosial seperti pendidikan, ketegasan, disiplin, kepatuhan dan bahkan perjuangan. Ini merupakan persoalan budaya, persoalan cara berpikir, cara pandang dan nilai-nilai di masyarakat.
Kedua, sudut pandang yang berhubungan dengan posisi anak yang secara obyektif adalah lemah baik secara fisik, psikis dan material. Kelemahan ini membuat anak tidak memiliki cukup kemampuan untuk menolak dan mempertahankan diri, manakala menerima tindak kekerasan dari orang yang lebih dewasa. Padahal, agar anak mampu memikul tanggung jawab sebagai generasi penerus maka ia perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial dan berahklak mulia.
Ketiga, sudut pandang bahwa kekerasan pada anak merupakan kekerasan yang berbasis gender (gender related violence), yaitu merupakan konstruksi sosial yang berakar dari nilai idiologi dominan. Kekerasan anak dapat berbentuk, antara lain: pemukulan, penyiksaan, pelecehan seksual, perkosaan, dan perdagangan perempuan dan anak.
Setiap anak memerlukan perlindungan, dan dalam hal ini kita telah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dengan Undang-Undang tersebut maka negara menjamin hak-hak anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang dan mendapat perlindungan dari eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi dan perlakuan salah lainnya. Demikian pula perlindungan anak di wilayah rumah tangga, kita telah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-Undang ini memberikan landasan hukum bagi upaya pencegahan dan penindakan tindak kekerasan dalam Rumah Tangga, yang sebagian korban adalah perempuan dan anak. Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban kekerasan, menindak pelaku kekerasan dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Persoalan utama dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah penerapannya di lapangan. Masih banyak masyarakat yang belum memahami substansi undang-undang tersebut. Masih banyak orang yang beranggapan bahwa tindak kekerasan orang tua pada anaknya merupakan wilayah privat yang tidak dapat diintervensi oleh publik. Padahal, dengan adanya Undang-Undang ini maka setiap warga masyarakat bukan hanya berhak tetapi juga wajib melaporkan kepada pihak-pihak yang berwajib apabila mengetahui terjadinya tindak kekerasan pada anak di lingkungan terdekatnya. Adalah tugas kita bersama untuk mensosialisasikan isi Undang-Undang tersebut kepada semua lapisan masyarakat.
Setiap tindak kekerasan selalu membawa kerusakan dan penderitaan pada korban, oleh sebab itu, dampak yang diakibatkan tindak kekerasan tidak selamanya hanya berbentuk fisik akibat pukulan, misalnya, tetapi dapat juga berbentuk luka emosional dan ingatan traumatis yang akan berbekas di sepanjang hidupnya dan ini akan lebih sulit dipulihkan daripada dampak fisik. Kekerasan hendaknya tidak pernah lagi dipergunakan oleh siapapun sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah, terlebih lagi bila kekerasan tersebut dilakukan terhadap anak-anak kita yang merupakan tunas, potensi dan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa.
Langganan:
Postingan (Atom)