(Sebuah Catatan Tentang Kondisi Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum (AKH) di Kota Bandung)
Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Lingkar Perlindungan Anak Kota Bandung dan Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) pada 15 Maret 2011, terungkap kondisi riil anak-anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) yang ada di Kota Bandung dan sekitarnya serta berbagai factor yang memperburuk layanan yang diterima oleh para AKH.
Anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) seringkali terabaikan hak-haknya. Padahal, sebagai warga Negara – terlebih sebagai anak – mereka tetap berhak mendapatkan berbagai layanan. Dalam konteks hak asasi manusia (ham) hanya hak kemerdekaan saja yang dicabut, AKH tetap layak mendapatkan hak atas pendidikan, layanan kesehatan, layanan social dan lain-lain. Kenyataannya, anak-anak ini di saat berada di penjara acapkali tidak terpenuhi hak-haknya. Negara seakan-akan berhenti melayani mereka. Ternyata, pengabaian hak AKH ini terjadi sejak proses awal penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian hingga pada saat mereka keluar penjara.
Menurut data terakhir dari pengadilan negeri Bandung, terdapat 87 orang anak konflik hukum (AKH) yang prosesnya sampai ke pengadilan. Dan 90% di antaranya dituntut penjara, padahal dalam UU pengadilan anak ada beberapa alternatif.
Minimnya anggaran yang dimiliki Kementerian Hukum dan HAM (Kemenhumham), dan tidak adanya sumbangsih dari pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kota/kabupaten, telah memperparah layanan yang semestinya diterima oleh AKH.
Buruknya layanan bagi AKH, terjadi pula di Kota Bandung. Ditambah dengan ketiadaan Lembaga Pemasyarakatan (LP) khusus anak yang memiliki pola pembinaan tersendiri. AKH pun harus menjalani proses penahanannya di penjara-penjara Rumah Tahanan (Rutan) yang sebenarnya adalah tempat sementara bagi para tahanan hingga turun inkrah dari Pengadilan. Sehingga anak-anak ini tak sekedar harus menerima layanan yang tak semestinya, mereka pun tidak mendapatkan pembinaan yang dibutuhkan.
Minimnya layanan bagi AKH yang terdapat di Rutan Kebonwaru dan beberapa LP di sekitar Bandung juga diakibatkan tak adanya akses layanan yang diberikan oleh Pemerintah Kota Bandung. Ketiadaan akses ini seringkali didasarkan pada larangan tentang pemberian dana/anggaran dari pemerintah daerah kepada instansi-instansi vertikal. Selain itu, pemerintah kota pun sering berdalih bahwa layanan-layanan yang ada lebih difokuskan kepada warga Kota Bandung. Padahal, banyak anak-anak yang harus mendekam di Rutan atau LP itu merupakan warga Kota Bandung.
Diskusi ini diharapkan menemukan peluang atau celah anggaran yang bisa diberikan pemerintah kota dalam penanganan AKH. Sebenarnya pasca larangan penganggaran pemerintah daerah terhadap instansi-instansi vertikal, ada sebuah kelonggaran berdasar surat edaran Menteri Keuangan dengan memperbolehkan pemerintah daerah memberikan anggarannya kepada instansi-instansi vertikal tetapi hanya dalam bentuk block grant (hibah) yang bisa diberikan satu kali saja.
Ada beberapa solusi yang disampaikan oleh para peserta diskusi, yaitu:
Pertama, dengan membuka seluruh sekat formal yang ada di antara pemerintah kota dan instansi-instansi yang terkait dengan permasalahan AKH ini seperti, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Rutan, LP dan Bapas. Usulan ini didasarkan pada 2 Surat Kesepakatan Bersama (SKB) para pejabat setingkat menteri yang telah ditanda tangani secara berturut-turut pada tanggal 15 dan 22 Desember 2009 tentang Penangangan AKH dan Reorientasi-Reintegrasi AKH Pasca Proses Hukum.
Kedua, dengan melibatkan pihak ketiga sebagai pelaksana layanan di Rutan atau LP yang didanai oleh pemerintah kota.
Namun, dua solusi di atas sangat tergantung kepada political will pemerintah kota dan instansi-instansi yang terkait permasalahan AKH ini.
Senin, 04 April 2011
Ketika Hak-hak Mereka Dipasung Kebijakan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar